Telolet Demokrasi dan Simfoni Aspirasi: Saat Klakson Menyuarakan yang Tak Didengar
"Kadang suara paling lantang bukan berasal dari mikrofon, tapi dari klakson di jalanan yang menunggu untuk didengar."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pada Jumat, 19 Juli 2025, suasana kawasan Gedung Sate di Bandung tidak hanya dipenuhi hiruk pikuk kendaraan, melainkan juga bunyi klakson yang menggelegar sebagai simbol kegelisahan. Artikel Kompas.com berjudul “Telolet Demokrasi di Depan Gedung Sate: Ketika Bunyi Klakson Mengalahkan Retorika Kekuasaan” menjadi jendela yang menarik untuk memahami ketegangan antara ruang publik dan suara rakyat. Penulis merasa terpanggil untuk mengulasnya bukan dalam semangat konfrontatif, melainkan sebagai ajakan untuk mendengar lebih dalam dan memahami lebih bijak apa yang sesungguhnya digemakan dari balik dentuman klakson itu.
Fenomena aksi damai bertajuk “Demo Pariwisata Jabar” yang diwarnai dengan bunyi klakson truk bukanlah sekadar bentuk ekspresi jalanan. Ia mencerminkan benturan antara harapan masyarakat pelaku wisata terhadap arah pembangunan ekonomi daerah dan persepsi pemerintah atas komunikasi kebijakan. Relevansi peristiwa ini sangat tinggi di tengah diskursus demokrasi partisipatif yang membutuhkan jembatan dialog antara pemangku kebijakan dan publik. Bukan hanya soal izin demo atau lokasi strategis, namun lebih pada bagaimana mendengarkan tanpa prasangka, dan mengelola perbedaan secara konstruktif.
Ulasan ini mencoba menapaki jalur tengah: tidak membakar jembatan komunikasi yang ada, tidak pula menafikan keresahan yang disuarakan. Demokrasi, pada akhirnya, adalah seni menyerap keragaman suara tanpa saling membungkam. Semoga dari balik telolet itu, lahir solusi yang tidak hanya memuaskan satu pihak, tetapi menjawab kebutuhan bersama.
Bunyi Klakson dan Keheningan Dialog
Bunyi telolet yang membahana dari puluhan kendaraan dalam aksi di depan Gedung Sate menjadi simbol diam-diam kuat. Ia menggambarkan paradoks dalam tata kelola aspirasi publik: ketika ruang formal terasa tertutup atau sulit diakses, maka suara-suara kreatif akan mencari jalan lain untuk terdengar. Dalam konteks ini, telolet bukan sekadar bunyi, melainkan ekspresi frustasi dan harapan yang dipadukan secara ironi.
Namun harus diakui, ekspresi ini juga menjadi cermin keterbatasan komunikasi dua arah antara masyarakat dan pemerintah. Jika kanal aspirasi berjalan efektif, mungkinkah bunyi klakson menjadi pilihan utama? Maka tugas bersama kita adalah memastikan bahwa forum diskusi, mediasi, dan partisipasi publik tidak berhenti pada formalitas belaka, tetapi sungguh-sungguh menjadi ruang yang inklusif dan ramah bagi suara rakyat.