Lowongan Tak Kenal Ijazah Saja: Saat Surat Lamaran Butuh Cerita, Bukan Sekadar Data
"Dalam huruf-huruf yang sederhana, tersimpan gambaran siapa diri kita sebenarnya."
Oleh Karnita
Pendahuluan: Antara Surat dan Nasib yang Dipertaruhkan
Minggu pagi, 14 Juli 2024, Kompas.com menerbitkan sebuah artikel berjudul “HRD Tak Lagi Baca CV Saja, Tapi Narasi di Baliknya”. Dalam laporan tersebut, praktisi rekrutmen menyebut bahwa surat lamaran kerja kini menjadi titik perhatian utama dalam proses seleksi awal, terutama ketika pelamar memiliki kualifikasi teknis yang relatif seimbang. Surat lamaran bukan lagi pelengkap, melainkan pembuka ruang kepercayaan.
Penulis tertarik menyoroti isu ini karena masih banyak siswa SMA/sederajat, terutama kelas XII, yang belum mengenal pentingnya surat lamaran sebagai bagian dari identitas profesional. Di tengah tren rekrutmen digital dan platform rekrutmen daring, surat lamaran sering dianggap sebagai beban administratif belaka. Padahal, ia adalah dokumen paling personal dalam keseluruhan proses pencarian kerja atau magang pertama.
Relevansinya tak hanya bagi lulusan perguruan tinggi, tapi juga untuk pelajar SMK dan SMA yang hendak langsung bekerja atau mengikuti program vokasi. Di situlah urgensinya: dunia pendidikan menengah harus mulai mempersiapkan siswa bukan hanya secara akademik, tapi juga dalam keterampilan komunikasi profesional—dimulai dari menulis surat lamaran yang jujur, reflektif, dan mencerminkan karakter.
1. Surat Lamaran Bukan Formulir Kosong
Surat lamaran kerja sering kali dianggap sekadar lampiran administratif. Banyak pelamar menggunakan format seragam dari internet, hanya mengganti nama perusahaan dan posisi yang dilamar. Akibatnya, surat lamaran kehilangan makna komunikatifnya: tak lagi menjadi medium untuk mengenalkan diri, melainkan sekadar daftar isi ulang dari CV. Padahal, surat lamaran adalah titik temu pertama antara pelamar dan perusahaan—ruang awal untuk saling mengenal secara tulus.