Menapak di Ladang Ranjau, Menguak Makna dari Makhluk yang Diremehkan
"Dalam dunia yang retak oleh perang, bahkan seekor tikus bisa menjadi penjahit harapan."
Oleh Karnita
Pendahuluan: Diam-diam, Mereka Menyelamatkan Dunia
Pagi masih enggan terbit di Siem Reap, Kamboja. Embun menyelimuti semak liar ketika seekor tikus berkantong raksasa melangkah perlahan di atas tanah yang menyimpan bahaya tersembunyi. Di ujung talinya, seorang perempuan memantau gerak-geriknya—bukan untuk eksperimen ilmiah, melainkan demi sebuah misi: mendeteksi ranjau darat yang diam-diam mengintai kehidupan warga sipil. Dalam kesenyapan, makhluk kecil itu menjadi bagian dari perjuangan panjang melawan warisan konflik.
Sebagai penulis yang tertarik pada tema-tema kemanusiaan dan rekonsiliasi sosial, saya terpukau oleh laporan Kompas.id berjudul “Tikus yang Menjadi ’Pahlawan’ di Kamboja” (17 Juli 2025) karya Ignatius Danu Kusworo. Sekilas terdengar tak biasa—tikus pelacak ranjau? Namun di Kamboja, hewan ini adalah agen penyelamat dalam program yang dijalankan APOPO, organisasi nirlaba dari Afrika dan Eropa. Mereka tak hanya membersihkan tanah, tetapi juga mengurai ketakutan, mengembalikan harapan.
Lebih dari sekadar kisah tentang teknologi alternatif, ini adalah narasi tentang potensi dari yang kerap diremehkan, tentang kekuatan dari yang sederhana, dan tentang kerja sama lintas makhluk dalam menyembuhkan luka sejarah. Di jejak lembut para tikus ini, kita diajak merenung: pemulihan tidak selalu datang dari kekuatan besar, melainkan dari kepercayaan yang dibangun dalam kesenyapan dan ketekunan yang konsisten.
Tikus dan Ladang Maut: Aliansi Tak Terduga
Di tengah bentang Kamboja yang masih dibayangi trauma masa lalu, tersisa ribuan kilometer persegi lahan yang pernah ditanami ranjau. Ranjau-ranjau ini tidak hanya menyimpan potensi bahaya, tapi juga menahan kehidupan: anak-anak tak leluasa bermain, petani ragu mengolah tanah, dan mobilitas warga pun terbatas oleh rasa waswas.
Dalam situasi seperti ini, APOPO hadir dengan pendekatan tak lazim namun efektif: melatih tikus berkantong Afrika untuk mendeteksi bahan peledak. Dengan bobot ringan, tikus dapat menyusuri lahan tanpa memicu ranjau. Saat mendeteksi aroma TNT, mereka memberi sinyal dengan menggaruk tanah—metode yang efisien dan terjangkau jika dibandingkan dengan perangkat berteknologi tinggi.
Para pelatih seperti Mott Sreymom—seorang perempuan tangguh dari Kamboja—merawat tikus-tikus ini dengan penuh perhatian. Ia memberi makan, merawat tubuh mereka, bahkan mengolesi tabir surya di kaki dan buntut mereka agar tak terluka saat bertugas di bawah terik. Di ladang yang dulunya menyimpan kematian, tumbuh hubungan kemitraan antara manusia dan hewan, dilandasi kepercayaan dan rasa saling melindungi.