Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gen Z Jadi ketua RT: Bukti Nyata Bahwa Kepemimpinan Tak Menunggu Tua

14 Juli 2025   20:12 Diperbarui: 14 Juli 2025   20:12 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sahdan Arya Maulana, mahasiswa Prodi Teknik Industri Fak. Teknik UMJ terpilih sebagai Ketua RT 07 RW 08,  Rawa Badak Selatan, Koja, Jakut. (Republika.

Gen Z Jadi Ketua RT: Bukti Nyata Bahwa Kepemimpinan Tak Menunggu Tua

"Prinsip saya: sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama." -- Sahdan Arya Maulana

Oleh Karnita

Pendahuluan: Ketika Kepemimpinan Tak Lagi Soal Usia

Di tengah citra Gen Z yang sering dicap pasif, apatis, dan sibuk dengan layar gawai, muncul satu kisah kontras dari sudut Jakarta Utara. Seorang mahasiswa berusia 19 tahun, Sahdan Arya Maulana, terpilih sebagai Ketua RT di Kelurahan Rawa Badak Selatan. Kisah ini viral bukan karena sensasi, melainkan karena substansi: kerja nyata, transparansi anggaran, dan inovasi sosial.

Diberitakan oleh Republika.co.id pada 14 Juli 2025, Sahdan bukan hanya menang telak dalam pemilihan RT, tetapi langsung tancap gas dalam dua bulan awal kepemimpinannya. Mulai dari pengecoran jalan swadaya, program bantuan sosial, hingga sistem iuran transparan berbasis nilai Muhammadiyah, semua menunjukkan betapa anak muda bisa memimpin dengan integritas.

Fenomena ini mengundang refleksi lebih luas: apakah kita masih memegang paradigma lama bahwa pemimpin harus berumur dan berpengalaman? Atau sudah saatnya membuka ruang partisipasi bagi anak muda yang punya visi, aksi, dan kredibilitas?

1. Kepemimpinan yang Muda, Namun Matang

Sahdan bukan sekadar simbol anak muda yang terjun ke birokrasi lokal. Ia adalah representasi generasi baru yang membawa nilai efisiensi, kedekatan sosial, dan manajemen berbasis komunitas. Di usia 19 tahun, ia menang secara demokratis dengan selisih suara mencolok---bukti bahwa warga tak lagi melihat usia sebagai tolok ukur utama.

Kemenangan Sahdan menunjukkan adanya kepercayaan dari masyarakat bahwa pemimpin muda mampu menjawab kebutuhan zaman. Ia menjadikan RT bukan sekadar jabatan struktural, melainkan wahana perubahan sosial mikro yang konkret dan terukur. Proyek pengecoran jalan tanpa dana pemerintah menjadi bukti bahwa kredibilitas dibangun melalui hasil, bukan wacana.

Lebih jauh, karakteristik kepemimpinan Sahdan mencerminkan pola pikir Gen Z: kolaboratif, berbasis nilai, dan mengedepankan transparansi. Ia tidak membawa jargon besar, tapi langsung bergerak dari bawah, menggunakan logika swadaya dan partisipasi publik.

2. Menggugurkan Stigma: Gen Z Juga Bisa Kerja Nyata

Stereotip bahwa Gen Z adalah generasi rebahan, manja, dan sulit bersosialisasi dipatahkan oleh Sahdan. Ia memilih tidak ikut organisasi kampus bukan karena apatis, melainkan demi fokus menjalankan pengabdian langsung di masyarakat. Ini adalah bentuk kecerdasan konteks: mengenali medan, mengukur kapasitas, dan memilih saluran kontribusi yang paling efektif.

Langkah ini bukan tanpa risiko. Ia menghadapi keraguan dari sebagian warga yang skeptis terhadap kemampuan anak muda. Namun, responsnya tidak reaktif---ia membalas dengan kinerja. Dalam dua bulan, program pengecoran jalan tuntas. Ia juga menyusun program sosial, mulai dari pembagian sembako, kurban Iduladha, hingga dana kematian yang terstruktur.

Di balik itu, Sahdan juga mengadopsi nilai-nilai Muhammadiyah: kebermanfaatan, keikhlasan, dan kepemimpinan partisipatoris. Ini membedakannya dari pemimpin muda yang sekadar tampil simbolik---ia bekerja dengan prinsip dan nilai yang tertanam kuat.

3. Model RT Partisipatif: Kolaborasi, Bukan Komando

RT di bawah kepemimpinan Sahdan bukan monarki mikro yang otoriter. Ia dibantu oleh sekretaris dan bendahara yang juga berusia muda---Femas dan Rizky---yang memperkuat struktur organisasi kecil namun tangguh. Ini menciptakan gaya kepemimpinan partisipatif dan kolegial, bukan satu arah dan birokratis.

Menariknya, struktur keuangan RT dikelola terbuka. Warga cukup membayar Rp 10.000 per bulan untuk mendapat jaminan bantuan sosial yang nyata. Skema ini sangat relevan di tengah situasi ekonomi masyarakat perkotaan yang serba tak pasti, sekaligus menjawab minimnya dukungan pemerintah terhadap unit terkecil dalam struktur negara.

Dana Biaya Operasional Pemerintah (BOP) sebesar Rp 2 juta per bulan digunakan dengan prioritas kebutuhan bersama. Semua kegiatan---dari keamanan hingga pelayanan sosial---dirancang berbasis urgensi warga, bukan formalitas program.

4. Pendidikan dan Pengabdian: Dua Poros Kepemimpinan

Keputusan Sahdan untuk tidak aktif di organisasi kampus justru menjadi kekuatan dalam narasi kepemimpinan kontekstual. Ia memosisikan dirinya sebagai "warga aktif" yang menjadikan lingkungan sebagai ruang praktik pembelajaran sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kampus tidak selalu menjadi satu-satunya tempat pembentukan kepemimpinan mahasiswa.

Ia belajar dari para aktivis kampus yang aktif bermusyawarah dan menerjemahkannya ke dalam konteks RT. Pendekatan ini menjadi jembatan antara teori dan praksis, antara idealisme dan realitas lapangan. Sahdan membuktikan bahwa menjadi warga yang baik sama pentingnya dengan menjadi mahasiswa yang unggul.

Inilah integrasi antara pendidikan dan pengabdian yang nyata. Ia menolak dikotomi kampus dan masyarakat, sebaliknya memilih menjadi agen perubahan langsung di lingkungan terdekat.

5. Politik dan Masa Depan: RT sebagai Batu Loncatan

Menjadi Ketua RT bukan akhir dari perjalanan Sahdan. Ia mengungkapkan cita-citanya menjadi Gubernur DKI Jakarta. Visi ini bukan angan kosong. Kepemimpinan mikro di tingkat RT menjadi panggung awal untuk menguji integritas, memahami dinamika sosial, dan membangun basis kepercayaan.

Pilihan jurusan Teknik Industri mencerminkan pendekatan pragmatis: memahami sistem, efisiensi, dan manajemen usaha. Namun, untuk jenjang S2, ia berencana menekuni ilmu politik---strategi yang logis bila ingin menapaki jenjang struktural lebih tinggi. Ini menunjukkan orientasi jangka panjang yang matang: dari kerja sosial ke kerja struktural.

Lebih dari itu, ia berharap perjalanannya menjadi inspirasi bagi mahasiswa lain. Bahwa kerja nyata di masyarakat bisa menjadi ruang belajar politik yang bersih dan fungsional, sebelum terjun ke politik formal yang penuh kepentingan.

Penutup: Muda, Bekerja, dan Bermanfaat

Kisah Sahdan bukan sekadar cerita inspiratif. Ini adalah narasi korektif atas cara kita memandang anak muda dan struktur RT. Ia menunjukkan bahwa perubahan tidak harus menunggu jabatan tinggi atau usia matang. Mulai dari RT pun bisa menata peradaban baru: transparan, adil, dan inklusif.

Seperti kata Sahdan, "sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama." Dan mungkin dari tangan-tangan muda seperti inilah, Indonesia akan lahir kembali dengan wajah yang lebih jujur dan berpihak. Wallahu a'lam. 

Daftar Pustaka:

Republika.co.id. (14 Juli 2025). Mahasiswa UMJ Jadi Ketua RT di Usia 19 Tahun, Gen Z Juga Bisa Kerja Nyata di Masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun