Lebih jauh, karakteristik kepemimpinan Sahdan mencerminkan pola pikir Gen Z: kolaboratif, berbasis nilai, dan mengedepankan transparansi. Ia tidak membawa jargon besar, tapi langsung bergerak dari bawah, menggunakan logika swadaya dan partisipasi publik.
2. Menggugurkan Stigma: Gen Z Juga Bisa Kerja Nyata
Stereotip bahwa Gen Z adalah generasi rebahan, manja, dan sulit bersosialisasi dipatahkan oleh Sahdan. Ia memilih tidak ikut organisasi kampus bukan karena apatis, melainkan demi fokus menjalankan pengabdian langsung di masyarakat. Ini adalah bentuk kecerdasan konteks: mengenali medan, mengukur kapasitas, dan memilih saluran kontribusi yang paling efektif.
Langkah ini bukan tanpa risiko. Ia menghadapi keraguan dari sebagian warga yang skeptis terhadap kemampuan anak muda. Namun, responsnya tidak reaktif---ia membalas dengan kinerja. Dalam dua bulan, program pengecoran jalan tuntas. Ia juga menyusun program sosial, mulai dari pembagian sembako, kurban Iduladha, hingga dana kematian yang terstruktur.
Di balik itu, Sahdan juga mengadopsi nilai-nilai Muhammadiyah: kebermanfaatan, keikhlasan, dan kepemimpinan partisipatoris. Ini membedakannya dari pemimpin muda yang sekadar tampil simbolik---ia bekerja dengan prinsip dan nilai yang tertanam kuat.
3. Model RT Partisipatif: Kolaborasi, Bukan Komando
RT di bawah kepemimpinan Sahdan bukan monarki mikro yang otoriter. Ia dibantu oleh sekretaris dan bendahara yang juga berusia muda---Femas dan Rizky---yang memperkuat struktur organisasi kecil namun tangguh. Ini menciptakan gaya kepemimpinan partisipatif dan kolegial, bukan satu arah dan birokratis.
Menariknya, struktur keuangan RT dikelola terbuka. Warga cukup membayar Rp 10.000 per bulan untuk mendapat jaminan bantuan sosial yang nyata. Skema ini sangat relevan di tengah situasi ekonomi masyarakat perkotaan yang serba tak pasti, sekaligus menjawab minimnya dukungan pemerintah terhadap unit terkecil dalam struktur negara.
Dana Biaya Operasional Pemerintah (BOP) sebesar Rp 2 juta per bulan digunakan dengan prioritas kebutuhan bersama. Semua kegiatan---dari keamanan hingga pelayanan sosial---dirancang berbasis urgensi warga, bukan formalitas program.
4. Pendidikan dan Pengabdian: Dua Poros Kepemimpinan
Keputusan Sahdan untuk tidak aktif di organisasi kampus justru menjadi kekuatan dalam narasi kepemimpinan kontekstual. Ia memosisikan dirinya sebagai "warga aktif" yang menjadikan lingkungan sebagai ruang praktik pembelajaran sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kampus tidak selalu menjadi satu-satunya tempat pembentukan kepemimpinan mahasiswa.