Istiqlal EV Community: Gerakan Hijau dari Jantung Spiritualitas Nasional
"Masjid bukan hanya tempat bersujud, tapi juga tempat bersujudnya kesadaran kita pada bumi." – Prof. KH. Nasaruddin Umar
Oleh Karnita
Â
Pendahuluan: Masjid dan Ekologi, Harmoni yang Tak Biasa
Di tengah derasnya urbanisasi dan krisis iklim yang kian mendesak, muncul kabar menggembirakan dari jantung spiritual bangsa—Masjid Istiqlal, Jakarta. Pada 11 Juli 2025, Republika memberitakan bahwa masjid terbesar di Asia Tenggara ini kembali mencatat sejarah dengan mencanangkan Istiqlal EV Community, komunitas kendaraan listrik berbasis masjid pertama di Indonesia. Sebuah inisiatif yang bukan hanya mengejutkan, tapi juga menegaskan bahwa keimanan dan kepedulian ekologis bisa berjalan beriringan secara nyata.
Atmosfer di Masjid Istiqlal saat pencanangan terasa berbeda: bukan hanya lantunan doa yang bergema, tetapi juga semangat kolaborasi antarsektor—dari tokoh agama, pemerintah, hingga pelaku industri energi terbarukan. Tidak ada lagi sekat bahwa masjid hanya berbicara soal ibadah mahdhah; kini, masjid bicara teknologi, keberlanjutan, dan masa depan bumi. Kehadiran Menteri Agama RI, Komisaris Utama Indika Energy, dan jajaran direksi dari PT Ilectra Motor Group, menjadi simbol kuat bahwa gerakan ini memiliki arah yang strategis dan terukur.
Sebagai redaktur yang biasa mengulas keterkaitan antara nilai agama dan transformasi sosial, saya tertarik secara mendalam pada pendekatan ekoteologi yang diusung Masjid Istiqlal. Di saat banyak tempat ibadah masih bergelut dengan konservatisme fungsional, Istiqlal justru bergerak lebih jauh: menjadi agen perubahan berbasis iman. Artikel ini akan menelaah lebih jauh bagaimana pencanangan Istiqlal EV Community bukan sekadar simbolik, melainkan sebuah gerakan yang bisa menjadi preseden nasional bagi masjid-masjid lainnya.
1. Ekoteologi dalam Aksi: Masjid Sebagai Pusat Kesadaran Lingkungan
Gerakan Istiqlal EV Community berakar dari pemahaman ekoteologis bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari manifestasi iman. Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. KH. Nasaruddin Umar, menekankan bahwa ajaran agama perlu menyentuh isu lingkungan secara praktis, bukan hanya wacana. Masjid ini telah membuktikan hal tersebut melalui berbagai aksi nyata seperti daur ulang air wudhu, penggunaan bahan organik, hingga penanaman pohon.
Ekoteologi menempatkan manusia sebagai khalifah yang bertanggung jawab atas bumi. Dalam konteks ini, Masjid Istiqlal mengambil peran edukatif sekaligus advokatif: mendidik jamaah bahwa memilih kendaraan listrik juga merupakan bentuk ibadah sosial. Dengan mengurangi emisi karbon, komunitas EV ini menjadi langkah konkret dalam merawat amanah bumi, sesuai prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin.