Jangan Sepelekan Lelah: Myasthenia Gravis Bisa Jadi Ancaman Nyata
"Ketika tubuh memberi sinyal, jangan buru-buru menyebutnya lelah. Mungkin itu jeritan sunyi dari otot yang melemah."
Oleh Karnita
Pendahuluan: Ketika Kelelahan Bukan Sekadar Burnout
"Saya lelah." Kalimat ini sering meluncur begitu saja dari bibir banyak pekerja, mahasiswa, atau ibu rumah tangga di penghujung hari. Namun di balik keluhan itu, tersimpan serangkaian gejala fisik yang kerap diabaikan: kelopak mata yang tiba-tiba terasa berat dan turun sebelah, suara yang mulai terdengar sengau, hingga kesulitan menelan meski hanya minum air. Di tengah hiruk-pikuk dunia kerja modern yang menuntut mobilitas tinggi, banyak orang mengabaikan sinyal-sinyal tubuh yang sesungguhnya genting. Diskusi kesehatan bertajuk “Lebih dari Sekadar Lelah” yang digelar Menarini Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia (YMGI) pada Sabtu (12/7/2025) menyoroti realitas ini, sebagaimana dilaporkan oleh Republika.co.id. Sering kali kita terjebak dalam anggapan bahwa rasa lelah, penglihatan kabur, atau suara sengau hanyalah akibat stres dan kurang tidur. Padahal, mengenali batas kemampuan tubuh secara tepat adalah bagian dari literasi kesehatan yang krusial di era padat aktivitas ini.
Namun, fakta medis menunjukkan bahwa gejala-gejala tersebut bisa mengarah pada kondisi serius bernama Myasthenia Gravis (MG)—penyakit autoimun neuromuskular kronis yang menyebabkan kelemahan otot yang fluktuatif. Jika diabaikan, penyakit ini dapat berkembang menjadi krisis miastenik, yaitu kegagalan pernapasan yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan intensif. Inilah mengapa pendekatan proaktif terhadap gejala tubuh perlu dibangun sejak dini, bukan hanya saat krisis datang.
Maka dari itu, munculnya diskusi terbuka seperti ini menjadi sangat relevan. Di tengah normalisasi kelelahan dalam budaya kerja kita, MG menuntut kita untuk lebih peka dan responsif terhadap tanda-tanda fisik yang mencurigakan. Kesadaran kolektif masyarakat sangat dibutuhkan agar tidak ada lagi penderita MG yang terdiagnosis terlambat.
Memahami Gejala dan Risiko Fatal
Menurut dokter spesialis saraf dari RSCM, dr. Ahmad Yanuar Safri, MG kerap salah didiagnosis karena gejalanya menyerupai kelelahan biasa: ptosis (kelopak mata turun), diplopia (penglihatan ganda), suara sengau, hingga kesulitan menelan. Tanpa penanganan dini, gejala bisa memburuk dan menurunkan produktivitas pasien, bahkan menyebabkan kematian akibat gangguan pernapasan. Gejala-gejala ini sering kali datang secara bertahap, sehingga memperbesar kemungkinan disalahartikan.
Yang menjadi masalah adalah keterlambatan diagnosis yang masih sering terjadi. Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai MG membuat banyak pasien datang dalam kondisi yang sudah parah. Padahal, menurut dr. Yanuar, jika pengobatan dilakukan secara tepat dan berkesinambungan, pasien bisa tetap menjalani kehidupan produktif. Keterlambatan inilah yang membuat peran edukasi publik menjadi sangat vital.
Kunci keberhasilan pengobatan, lanjutnya, bukan hanya pada terapi medis, tetapi juga pada akses obat yang terjangkau, edukasi yang merata, dan pendampingan yang memadai—hal yang masih menjadi tantangan di berbagai daerah. Infrastruktur kesehatan yang mendukung keberlanjutan terapi juga menjadi faktor penentu keberhasilan jangka panjang.
Tantangan Ganda: Menjadi Dokter dan Pasien MG
Salah satu suara paling otentik dalam diskusi tersebut datang dari dr. Zicky Yombana, spesialis saraf dari RS Brawijaya Saharjo yang juga merupakan pasien MG. Ia menggarisbawahi betapa banyak masyarakat menganggap kelopak mata turun atau perubahan suara sebagai kelelahan biasa. "Kita terlalu sering menduga-duga berdasarkan 'dr. Google' dan mengabaikan konsultasi yang sebenarnya penting," ujarnya. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana bias persepsi masih kuat memengaruhi penanganan awal penyakit kronis.
Sebagai dokter sekaligus pasien, dr. Zicky memahami langsung urgensi diagnosis dini. Ia mengajak masyarakat untuk lebih kritis terhadap perubahan pada tubuh. Kelemahan otot yang hilang timbul tidak boleh dianggap remeh. Menunda penanganan bisa berujung pada krisis yang fatal. Ia juga menekankan pentingnya komunikasi terbuka antara pasien dan tenaga medis sejak gejala pertama muncul.
Testimoni ini penting, sebab ia menunjukkan bahwa siapa pun, bahkan tenaga medis, bisa terjebak dalam normalisasi rasa lelah. Edukasi kesehatan yang terus-menerus dibutuhkan agar masyarakat mampu mengenali perbedaan antara kelelahan biasa dan gejala MG. Konsistensi dalam kampanye kesadaran publik akan sangat membantu memecah stigma dan bias.
Dari Rasa Bingung ke Komunitas yang Saling Menguatkan
Annisa Kharisma, atau akrab disapa Tata, dari YMGI, membagikan kisah personalnya saat pertama kali mengalami gejala MG. Ia merasa sendirian dan kebingungan karena komentar sekitar yang menyederhanakan kondisinya. “Saya hanya dibilang lelah, stres kerja, atau kurang tidur. Itu sangat menyakitkan,” ujar Tata. Pengalaman emosional ini menggambarkan betapa pentingnya validasi dari lingkungan terdekat terhadap kondisi kesehatan seseorang.
Tata menyampaikan bahwa pengalaman seperti itu bisa membuat pasien merasa tidak valid secara emosional. Akibatnya, banyak dari mereka menunda pemeriksaan dan semakin memburuk kondisinya. Karena itu, ia menekankan pentingnya komunitas yang suportif dan penuh kesadaran. Solidaritas antarpenyintas menjadi fondasi penting dalam pemulihan psikologis pasien MG.
Melalui YMGI, Tata kini aktif menyuarakan pentingnya mengenali gejala awal dan mendampingi sesama pasien MG agar tidak merasa sendirian dalam perjalanan mereka. Dukungan psikososial seperti ini menjadi bagian tak terpisahkan dari keberhasilan terapi medis. Kesadaran kolektif bisa tumbuh melalui narasi personal yang menyentuh dan membangkitkan empati.
Dukungan Lintas Sektor: Dari Edukasi hingga Akses Terapi
Presiden Direktur Menarini Indonesia, Idham Hamzah, dalam diskusi tersebut menegaskan pentingnya pendekatan menyeluruh dalam mengatasi MG. Tidak cukup hanya dari sisi medis, tetapi harus melibatkan berbagai pihak—dokter, apoteker, pemerintah, organisasi pasien, dan media. Inklusivitas lintas sektor akan memperkuat kapasitas sistem dalam menangani penyakit kronis.
“Kami berkomitmen menghadirkan terapi yang efektif dan menjangkau. Kegiatan ini adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar pasien tidak terlambat didiagnosis,” ujar Idham. Pernyataan ini sekaligus menekankan bahwa inovasi terapi perlu dibarengi dengan strategi diseminasi informasi yang efektif.
Kolaborasi lintas sektor yang dibangun Menarini dan YMGI merupakan langkah konkret dalam mempercepat edukasi, meningkatkan skrining dini, serta memastikan keberlanjutan pengobatan. Tujuannya jelas: mengurangi angka keterlambatan diagnosis dan memperbesar peluang pasien untuk hidup normal. Keterpaduan strategi ini menjadi jembatan penting menuju sistem kesehatan yang lebih responsif terhadap penyakit langka.
Penutup: Ubah Perspektif, Bangun Kesadaran
Saat seseorang mengeluh “saya lelah”, jangan langsung menyarankan liburan atau tidur lebih awal. Bisa jadi, tubuhnya sedang melawan penyakit autoimun yang tak kasat mata. Myasthenia Gravis menuntut kita untuk lebih mendengar, lebih peka, dan tidak gegabah menilai. Kesadaran ini bukan hanya tugas pasien, melainkan tanggung jawab kolektif masyarakat yang sehat.
"Kesadaran adalah awal dari kesembuhan. Dan terkadang, penyembuhan dimulai dari keberanian untuk tidak menyederhanakan rasa lelah." Mari kita bantu ubah narasi dari "lelah biasa" menjadi panggilan untuk bertindak lebih peduli dan sadar kesehatan. Wallahu a'lam.
Daftar Pustaka:
Republika.co.id. (2025, 12 Juli). Waspada Myasthenia Gravis, Penyakit yang Sering Dikira ‘Kecapekan Kerja’. Diakses pada 12 Juli 2025, dari https://www.republika.co.id/
Diskusi Kesehatan “Lebih dari Sekadar Lelah”, Menarini Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia (YMGI). Diselenggarakan pada 12 Juli 2025 di Jakarta.
Safri, A. Y., & Yombana, Z. (2025). Wawancara dalam kegiatan diskusi publik “Lebih dari Sekadar Lelah”, 12 Juli 2025.
Kharisma, A. (Tata). (2025). Testimoni sebagai penyintas Myasthenia Gravis dalam acara “Lebih dari Sekadar Lelah”, diselenggarakan oleh Menarini Indonesia & YMGI, 12 Juli 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI