Saatnya Pemprov Jabar Menyatukan Energi: Menggenjot Pendapatan dan Menyeimbangkan Belanja
"Uang boleh terbatas, tapi komitmen kepada rakyat tak boleh surut." – Dedi Mulyadi
Oleh Karnita
Saatnya Kompak: Menjawab Teguran dengan Kerja Kolektif
Sejatinya, kritik bukan untuk dihindari, apalagi disikapi secara emosional. Ia adalah nutrisi bagi tata kelola yang sehat. Ketika Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan catatan terhadap kinerja fiskal Jawa Barat, hal itu sejatinya bukan serangan personal, melainkan ajakan untuk memperbaiki koordinasi dan menyusun strategi baru yang lebih solid dan responsif.
Berita Pikiran Rakyat berjudul “Disentil Mendagri Tito, Dedi Mulyadi Salahkan Warisan Utang BPJS dan Masjid Sedot Realisasi Anggaran” yang terbit 10 Juli 2025, menyebutkan realisasi pendapatan dan belanja Jawa Barat mengalami penurunan ke posisi ketiga nasional. Namun sorotan ini justru bisa menjadi momentum pembelajaran: bahwa beban masa lalu bukan penghalang mutlak, tetapi tantangan yang bisa dijawab dengan solusi bersama.
Jawa Barat tak kekurangan sumber daya maupun daya kreasi. Maka, keterbatasan fiskal hari ini harus dijawab dengan pendekatan inovatif dan kolaboratif. Saatnya eksekutif dan legislatif bergandengan lebih erat, membangun budaya kerja tim yang saling menguatkan, bukan saling menuding. Gotong royong birokratis dan partisipasi warga adalah jalan terbaik agar pelayanan publik tetap berjalan, meski napas fiskal sedang pendek.
1. Warisan Fiskal Bukan Alasan Stagnasi, Tapi Titik Awal Evaluasi
Dedi Mulyadi secara terbuka menyampaikan bahwa sepertiga APBD 2025 telah terserap untuk kewajiban warisan. Langkah transparan ini patut diapresiasi, namun tak cukup hanya menjadi klarifikasi. Perlu dilakukan audit strategis terhadap efektivitas belanja masa lalu agar bisa dipilah mana kewajiban yang wajib dibayar dan mana yang bisa dinegosiasikan ulang.
Evaluasi juga harus menyentuh sumber-sumber kebocoran fiskal, termasuk proyek infrastruktur dengan cost operasional tinggi yang tak diiringi dengan optimalisasi manfaat publik. Masjid Al Jabbar dan Bandara Kertajati, misalnya, harus didorong menjadi aset produktif, bukan sekadar simbol estetika.