Lebih dari 90% rumah sakit di Gaza telah hancur, rusak, atau tidak berfungsi. Setiap nama rumah sakit yang disebutkan dalam laporan PBB menyimpan ratusan cerita kematian: anak-anak, dokter, relawan, warga sipil. Ini bukan sekadar statistik, melainkan catatan penderitaan kolektif yang dibiarkan berlangsung terlalu lama.
Dalam situasi ini, siapa yang benar-benar bisa berbicara tentang moralitas? Apakah negara yang membombardir ambulans dan memblokir pasokan medis layak menjadi pengkritik utama serangan ke rumah sakit? Dunia memerlukan konsistensi, bukan hanya kecaman oportunistik.
Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Munir Al-Bursh dari Gaza, sistem kesehatan Palestina berada di ambang keruntuhan total. Tapi yang lebih mencemaskan adalah jika dunia internasional berhenti peduli, hanya karena narasi yang dominan berasal dari pihak yang lebih kuat.
5. Apa yang Masih Bisa Diselamatkan?
Setiap retorika yang tidak disertai introspeksi adalah bising yang melukai. Jika Netanyahu benar-benar ingin memperjuangkan nilai kemanusiaan, ia harus terlebih dahulu mengakui pelanggaran yang dilakukan pemerintahannya sendiri. Tanpa itu, kemarahannya hanya menjadi propaganda.
Dunia internasional pun perlu mendorong mekanisme investigasi independen yang tidak memihak. Serangan ke RS Soroka harus diusut, tetapi demikian pula serangan ke rumah sakit di Gaza. Keadilan tidak bisa bersandar pada opini semata, ia harus dilandasi bukti, transparansi, dan keberanian untuk mengoreksi diri.
Mungkin yang paling dibutuhkan sekarang bukan lagi pidato, tapi keheningan yang jujur—pengakuan bahwa semua pihak telah gagal menjaga kemanusiaan. Dari reruntuhan rumah sakit, suara anak-anak yang tak sempat tumbuh seharusnya cukup untuk menggugah nurani yang tertinggal.
Penutup: Seruan dari Reruntuhan, dan Tanggung Jawab Kita Semua
Polemik antara Iran dan Israel penjajah kini telah melampaui sekadar konflik antar negara. Ia telah berubah menjadi cermin besar bagi dunia—untuk bertanya, siapa kita ketika menyaksikan rumah sakit menjadi medan perang?
Sebagaimana kata penyair Mahmoud Darwish, “Di rumah sakit, bahkan bahasa diam berubah menjadi jeritan yang tak tertahankan.” Barangkali dunia harus belajar mendengarkan jeritan itu, bukan dari podium politik, tapi dari lorong-lorong rumah sakit yang kini tak lagi mampu menampung luka.
Netanyahu boleh bersumpah akan membalas, tapi dunia akan menilai bukan dari balasannya, melainkan dari keberaniannya untuk bercermin. Karena yang menyelamatkan dunia bukanlah kekuatan militer, tapi keberanian moral untuk mengakui salah dan memulai perubahan. Wallahu a'lam.