Serangan dan Seruan: Antara Rudal, Rumah Sakit, dan Retorika Moral
"Yang membedakan kemanusiaan bukanlah pada siapa yang diserang, tapi pada siapa yang tetap menyembuhkan."
Oleh Karnita
Pendahuluan: Di Balik Dinding Rumah Sakit dan Dinding Dingin Retorika
Beersheba, Kamis pagi, 19 Juni 2025. Rumah Sakit Soroka menjadi saksi bisu dentuman rudal balistik yang mengguncang wilayah Israel penjajah. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu datang dengan wajah marah, menuding Iran sebagai pelaku "serangan terbuka terhadap warga sipil". Ia berbicara tentang moralitas dan hukum, tentang demokrasi dan pembunuh. Namun, di balik pidato itu, gema suara dari Gaza terdengar lirih tapi tajam: bukankah yang sama telah menimpa kami? Di rumah sakit kami, hari demi hari?
Berita ini, dilansir oleh Pikiran Rakyat (22/6/2025), membuka kembali luka global yang belum juga mengering: standar ganda dalam konflik Israel–Palestina. Dalam kunjungannya ke Soroka, Netanyahu berbicara dengan penuh tekanan emosional, namun menutup mata atas kehancuran yang dilegitimasi oleh kebijakan militernya sendiri di Gaza. Ketika sorotan diarahkan ke Iran, pertanyaan lama kembali mengemuka—siapa yang layak berbicara atas nama kemanusiaan?
Alasan ketertarikan kami pada isu ini bukan semata karena dinamika geopolitik Timur Tengah, tetapi karena titik kritisnya menyentuh ranah paling universal: perlindungan terhadap warga sipil, terutama di fasilitas medis. Serangan ke rumah sakit, siapa pun pelakunya, harus dikecam. Tapi ketika kecaman datang dari pelaku kekerasan yang sama terhadap rumah sakit lain, retorika itu menjelma ironi.
1. Rumah Sakit Bukan Medan Tempur
Dalam konvensi internasional, rumah sakit selalu dipandang sebagai wilayah netral dan sakral. Mereka berdiri bukan sebagai lambang satu pihak, tapi pelindung kehidupan, bahkan bagi musuh. Pernyataan Benjamin Netanyahu bahwa Iran telah menyerang bangsal anak-anak membuka luka moral. Tapi luka itu menjadi berlipat ketika Israel penjajah sendiri tercatat telah menghancurkan lebih dari 90% rumah sakit di Gaza.
Netanyahu menyebut serangan Soroka sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Tapi bukankah logika yang sama berlaku bagi Israel ketika menggempur RS Al-Ahli, Al-Shifa, Nasser, dan lainnya? Di sinilah letak kekosongan moral yang menyeruak: retorika hanya bernilai jika tidak dibungkus kemunafikan. Masyarakat global menuntut kejujuran, bukan hanya dari Iran, tapi dari semua pihak.
Kita tidak sedang membela satu negara dan mencela lainnya. Kita sedang mengupayakan agar rumah sakit, sebagai simbol terakhir dari harapan di medan perang, tidak dijadikan alat politik atau tameng propaganda. Serangan di Soroka adalah tragedi. Tapi luka itu terasa hipokrit jika pelaku pemboman rumah sakit lain menuduh pihak lain tanpa mengakui dosanya sendiri.
2. Retorika dan Realitas: Siapa yang Menjaga Kemanusiaan?
Netanyahu menyebut Israel sebagai demokrasi yang bertindak dengan hukum. Tapi pernyataan ini bertolak belakang dengan fakta-fakta lapangan. Serangan ke RS Al-Ahli pada 17 Oktober 2023, atau pengepungan kejam di RS Al-Shifa pada April 2024, menunjukkan bahwa hukum yang dimaksud lebih sering dimanipulasi untuk membenarkan kekerasan.
Iran, lewat Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi, mengklaim bahwa target sebenarnya adalah markas militer yang berdekatan dengan RS Soroka. Ini pun tidak serta merta membebaskan tanggung jawab atas dampak sipil. Namun, perbedaan penting tetap harus dicatat: Iran tidak menyembunyikan fakta bahwa ada target militer, sementara Israel selama ini berkali-kali menyangkal, membantah, dan baru mengaku setelah tekanan internasional.
Pertanyaannya bukan hanya siapa yang memulai atau membalas. Tapi siapa yang bisa mempertanggungjawabkan tindakannya tanpa memutarbalikkan narasi. Ketika demokrasi menggunakan logika militeristik untuk membenarkan pembunuhan sipil, dunia kehilangan acuan moral. Dan ketika retorika moral dipakai secara selektif, publik kehilangan kepercayaan.
3. Sorotan Dunia dan Krisis Legitimasi Moral
Pernyataan Netanyahu mendapat kecaman keras dari masyarakat internasional, termasuk dari badan-badan seperti PBB dan WHO yang telah lama mencatat pelanggaran berat terhadap rumah sakit Gaza. Seruan dari tokoh seperti Andrew Cayley dari Pengadilan Kriminal Internasional mempertegas bahwa Israel telah memanipulasi narasi keamanan untuk menjustifikasi kejahatan perang.
Kecaman ini tidak bisa dianggap remeh. Ketika opini publik global mulai mencurigai motif di balik pernyataan Netanyahu, legitimasi moral Israel penjajah mulai retak. Dunia tidak bisa lagi dibujuk dengan klaim sepihak, apalagi jika bukti visual dan laporan independen menunjukkan hal sebaliknya.
Inilah krisis yang tengah berlangsung: bukan sekadar konflik geopolitik, tetapi runtuhnya kredibilitas etis dari pihak yang selama ini mengklaim posisi sebagai korban, namun diam-diam memainkan peran agresor. Dunia kini menuntut keadilan yang tidak parsial, dan kepekaan yang tidak selektif.
4. Gaza: Dari Rumah Sakit ke Reruntuhan
Lebih dari 90% rumah sakit di Gaza telah hancur, rusak, atau tidak berfungsi. Setiap nama rumah sakit yang disebutkan dalam laporan PBB menyimpan ratusan cerita kematian: anak-anak, dokter, relawan, warga sipil. Ini bukan sekadar statistik, melainkan catatan penderitaan kolektif yang dibiarkan berlangsung terlalu lama.
Dalam situasi ini, siapa yang benar-benar bisa berbicara tentang moralitas? Apakah negara yang membombardir ambulans dan memblokir pasokan medis layak menjadi pengkritik utama serangan ke rumah sakit? Dunia memerlukan konsistensi, bukan hanya kecaman oportunistik.
Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Munir Al-Bursh dari Gaza, sistem kesehatan Palestina berada di ambang keruntuhan total. Tapi yang lebih mencemaskan adalah jika dunia internasional berhenti peduli, hanya karena narasi yang dominan berasal dari pihak yang lebih kuat.
5. Apa yang Masih Bisa Diselamatkan?
Setiap retorika yang tidak disertai introspeksi adalah bising yang melukai. Jika Netanyahu benar-benar ingin memperjuangkan nilai kemanusiaan, ia harus terlebih dahulu mengakui pelanggaran yang dilakukan pemerintahannya sendiri. Tanpa itu, kemarahannya hanya menjadi propaganda.
Dunia internasional pun perlu mendorong mekanisme investigasi independen yang tidak memihak. Serangan ke RS Soroka harus diusut, tetapi demikian pula serangan ke rumah sakit di Gaza. Keadilan tidak bisa bersandar pada opini semata, ia harus dilandasi bukti, transparansi, dan keberanian untuk mengoreksi diri.
Mungkin yang paling dibutuhkan sekarang bukan lagi pidato, tapi keheningan yang jujur—pengakuan bahwa semua pihak telah gagal menjaga kemanusiaan. Dari reruntuhan rumah sakit, suara anak-anak yang tak sempat tumbuh seharusnya cukup untuk menggugah nurani yang tertinggal.
Penutup: Seruan dari Reruntuhan, dan Tanggung Jawab Kita Semua
Polemik antara Iran dan Israel penjajah kini telah melampaui sekadar konflik antar negara. Ia telah berubah menjadi cermin besar bagi dunia—untuk bertanya, siapa kita ketika menyaksikan rumah sakit menjadi medan perang?
Sebagaimana kata penyair Mahmoud Darwish, “Di rumah sakit, bahkan bahasa diam berubah menjadi jeritan yang tak tertahankan.” Barangkali dunia harus belajar mendengarkan jeritan itu, bukan dari podium politik, tapi dari lorong-lorong rumah sakit yang kini tak lagi mampu menampung luka.
Netanyahu boleh bersumpah akan membalas, tapi dunia akan menilai bukan dari balasannya, melainkan dari keberaniannya untuk bercermin. Karena yang menyelamatkan dunia bukanlah kekuatan militer, tapi keberanian moral untuk mengakui salah dan memulai perubahan. Wallahu a'lam.
Daftar Pustaka:
Pikiran Rakyat. (2025). Benjamin Netanyahu Murka Iran Serang RS Soroka, Tapi Tak Berkaca dengan Kebiadaban Israel di Gaza. https://www.pikiran-rakyat.com/news/pr-019437240
Kompas.com. (2024). WHO Kecam Serangan Israel ke RS Gaza: 62 Rumah Sakit Rusak Berat. https://www.kompas.com/global/read/2024/04/0
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI