Menurut data UNEP, lebih dari 11 juta ton plastik masuk ke laut setiap tahun. Sementara itu, mikroplastik sudah ditemukan dalam ikan, garam dapur, bahkan dalam plasenta manusia. Laut yang dulu diasosiasikan dengan kesucian kini menjadi cermin kebobrokan gaya hidup konsumtif kita. Ini bukan sekadar persoalan lingkungan, tapi juga moralitas kolektif.
Mengakui laut sebagai ibu berarti menghormatinya, bukan mengeksploitasinya. Hari Laut Internasional seharusnya mengembalikan relasi spiritual kita dengan samudera: bukan sebagai ruang mati yang siap dikeruk, melainkan ruang hidup yang harus dijaga dengan kelembutan dan rasa hormat. Ibu tak pantas dijadikan tempat sampah.
2. Bahtera Bernama Keanekaragaman Hayati
“Laut bukan hanya biru, ia berwarna-warni oleh kehidupan yang belum seluruhnya kita kenali.”
Lebih dari 80% makhluk hidup di lautan masih belum teridentifikasi. Laut adalah museum kehidupan terbesar di bumi yang belum kita buka seluruh ruangannya. Keanekaragaman hayati ini menjadi fondasi ekosistem dunia, dari karang yang menjadi rumah bagi ikan-ikan kecil hingga paus biru yang menjadi pengatur iklim.
Namun ancaman serius sedang mengintai. Pemanasan global menyebabkan pemutihan karang, penangkapan ikan berlebih menekan populasi, dan tumpahan minyak meracuni habitat. Dalam ekosistem laut, setiap kehilangan bukan hanya statistik—ia bisa mengganggu keseimbangan global yang rapuh.
Merayakan Hari Laut Internasional berarti merayakan keanekaragaman yang tak tampak di permukaan. Kita tidak bisa mencintai sesuatu yang tidak kita kenal. Maka, literasi ekologi laut perlu ditingkatkan sejak dini—bukan hanya untuk ilmuwan, tetapi juga untuk nelayan, anak-anak sekolah, hingga para pengambil kebijakan.
3. Laut dan Krisis Iklim: Kisah yang Tak Bisa Dipisahkan
“Apa yang terjadi di laut tidak tinggal di laut.”
Laut menyerap 30% emisi karbon dunia dan 90% kelebihan panas akibat perubahan iklim. Ia adalah penyaring alami dari kerusakan yang kita timbulkan. Namun kini, laut mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan: naiknya permukaan air laut, berkurangnya oksigen, serta perubahan pola migrasi ikan.
Fenomena El Niño yang makin sering, badai tropis yang semakin destruktif, hingga tenggelamnya pulau-pulau kecil adalah bukti bahwa laut sedang memberontak dalam diam. Negara-negara kepulauan seperti Indonesia berada di garis depan ancaman, namun ironisnya belum semua kebijakan pembangunan kita memperhitungkan keberlanjutan laut.