Rp 1 Miliar untuk Layar Sentuh: Ketika Legislasi Melupakan Sentuhan Empati
"Kita sedang lapar data, bukan kenyang belanja."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pada Kamis, 5 Juni 2025, Kompas.com merilis berita tentang rencana pengadaan 50 unit tablet bagi anggota DPRD Kabupaten Bandung Barat (KBB) senilai hampir Rp 1 miliar. Pengadaan ini, yang kini masih dalam tahap lelang dan pengecekan kesesuaian barang, diklaim sebagai upaya efisiensi dokumen fisik dan digitalisasi data rapat.
Namun, rencana tersebut justru menuai kritik luas. Di tengah tekanan efisiensi anggaran dari pemerintah pusat dan kebutuhan dasar masyarakat yang belum tertangani optimal, pengadaan tablet mahal ini menimbulkan pertanyaan tajam: benarkah ini bentuk efisiensi, atau justru contoh nyata disorientasi anggaran?
Ketertarikan saya mengulas isu ini berangkat dari keresahan akan kaburnya skala prioritas dalam pengelolaan anggaran publik. Saat rakyat masih bergelut dengan akses pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur dasar, belanja perangkat mewah seharga belasan juta rupiah per unit patut dipertanyakan urgensinya. Ini bukan sekadar soal teknologi, tapi soal empati dan kepekaan wakil rakyat terhadap denyut nadi warganya sendiri.
1. “Sudah Punya Smartphone, Mengapa Mesti Tablet?”
Pengadaan 50 tablet seharga belasan juta rupiah per unit untuk anggota DPRD KBB menuai sorotan publik. Para anggota dewan sebenarnya telah dibekali smartphone canggih yang dinilai cukup untuk menunjang kinerja legislasi mereka. Bahkan, menurut pengakuan Ketua DPRD KBB, Muhammad Mahdi, rencana ini sudah disusun sejak 2024 dan kini hanya tinggal tahap realisasi pada Juli 2025.
Pengamat politik dari Unjani Cimahi, Arlan Siddha, secara lugas mempertanyakan urgensi dari pengadaan ini. Ia menyatakan bahwa perangkat digital yang sudah dimiliki seharusnya cukup jika kinerja dewan memang berbasis substansi, bukan gengsi. “Apa urgensinya? Dewan sudah punya smartphone canggih,” ujarnya.
Dalam konteks efisiensi, langkah ini justru kontra-produktif. Daripada menambah perangkat baru, mengoptimalkan yang ada dan pelatihan digitalisasi lebih relevan dilakukan. Efisiensi bukan hanya soal mengganti media kerja, tetapi memperbaiki cara kerja dan pola pikir anggaran.
2. “Empati Anggaran: Antara Dewan dan Warga”
Salah satu kritik paling keras datang dari ketimpangan persepsi antara kebutuhan elite dan realitas warga. Dalam kondisi Bandung Barat yang masih berhadapan dengan isu infrastruktur terbengkalai, layanan kesehatan terbatas, dan pendidikan yang memerlukan perhatian khusus, pembelian tablet nyaris Rp 1 miliar terasa tidak empatik.
Sebagai perbandingan, biaya Rp 1 miliar dapat digunakan untuk membangun 3-4 ruang kelas baru atau merevitalisasi posyandu dan layanan dasar di kecamatan. Ketika masyarakat melihat dewan sibuk memperdebatkan merek tablet dan memori penyimpanan, wajar jika timbul pertanyaan: di mana prioritas sesungguhnya?
Empati bukan sekadar kata manis dalam pidato, tapi keputusan bijak dalam pengelolaan anggaran. Para wakil rakyat seharusnya menjadi cermin kebutuhan masyarakat, bukan hanya menikmati fasilitas negara yang didanai rakyat.
3. “Efisiensi atau Alibi Modernisasi?”
Sekretariat DPRD KBB berdalih bahwa pengadaan tablet justru akan menghemat anggaran fotokopi dokumen yang selama ini mencapai Rp 50 juta per tahun. Klaim ini tampaknya logis di atas kertas. Namun dalam praktiknya, efisiensi digital tidak melulu bermakna mengganti kertas dengan gawai mewah.
Efisiensi yang sejati justru dimulai dari pola pikir dan reformasi sistem kerja. Alih-alih membeli perangkat mahal, dewan bisa menggandeng lembaga riset dan pendidikan untuk mengembangkan sistem manajemen dokumen digital sederhana dan efisien, berbasis server lokal atau cloud yang murah dan aman.
Argumen “menghemat fotokopi” juga menyisakan pertanyaan: mengapa baru sekarang efisiensi itu dilakukan, dan mengapa solusinya langsung pada pengadaan barang mahal, bukan evaluasi sistem kerja administratif?
4. “Kontradiksi dengan Instruksi Presiden”
Instruksi Presiden Prabowo Subianto tentang efisiensi anggaran seharusnya menjadi pedoman utama di semua level pemerintahan. Dalam konteks ini, pengadaan tablet nyaris Rp 1 miliar bertolak belakang dengan semangat nasional untuk menata ulang belanja publik yang boros dan kurang berdampak langsung.
Meski Ketua DPRD mengklaim bahwa rencana ini disusun sebelum Inpres diterbitkan, namun konteks saat ini sudah berbeda. Adaptasi kebijakan dan kebesaran hati untuk meninjau ulang anggaran merupakan langkah strategis yang menunjukkan kepemimpinan yang adaptif dan berempati.
Ketegasan pusat tak boleh dikerdilkan oleh alasan administratif semata. Jika semua kebijakan anggaran dipertahankan atas nama perencanaan lampau, maka tak akan pernah ada perbaikan di masa depan.
5. “Refleksi: Mewahnya Alat, Kosongnya Makna”
Pengadaan alat mewah seringkali menjadi simbol prestise birokrasi, padahal tugas utama legislatif adalah mendengar, menyerap, dan mengadvokasi suara rakyat. Tablet bukanlah ukuran kualitas kerja, apalagi legitimasi representasi. Yang dibutuhkan rakyat adalah hasil nyata, bukan perangkat canggih.
Jika benar ingin efisiensi, sudah seharusnya para anggota DPRD memperlihatkan komitmen mereka lewat transparansi anggaran, pengurangan biaya perjalanan dinas, hingga pemangkasan belanja seremonial. Menghemat anggaran bukan dengan menukar fotokopi dengan tablet mahal, tetapi dengan membenahi pola belanja dan budaya kerja.
Sebagai institusi publik, DPRD mestinya memprioritaskan penganggaran berbasis kebutuhan masyarakat, bukan kenyamanan lembaga. Sebab “kemewahan tanpa makna hanya akan menjadi ironi bagi mereka yang masih kesulitan mendapatkan layanan dasar.”
Penutup
Publik bukan anti-teknologi. Namun dalam situasi ekonomi yang masih berat, keputusan belanja publik harus menunjukkan empati dan keteladanan. DPRD Bandung Barat punya kesempatan untuk membuktikan diri sebagai wakil rakyat yang arif, bukan sekadar pelaku formalitas kebijakan anggaran.
Seperti kata bijak, “Hidup sederhana di antara yang sederhana adalah bentuk kepemimpinan yang paling dihormati.” Maka, pilihan kini ada di tangan para legislator: apakah akan terus melaju dengan logika anggaran lama, atau berani membalik arah menuju kebijakan yang lebih berkeadilan? Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
- Kompas.com. (2025, 5 Juni). DPRD Bandung Barat Tetap Anggarkan Tablet Rp 1 Miliar meski Sudah Punya "Smartphone", Pengamat: Di Mana Empatinya?. https://bandung.kompas.com/read/2025/06/05/174743578
- Kompas.com. (2025, 5 Juni). Bandung Barat Beli Tablet PC Rp 1 Miliar untuk 50 Anggota DPRD. https://bandung.kompas.com/read/2025/06/05/100905478
- Kemendikbudristek. (2021). Pedoman Umum Pengelolaan Anggaran Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal PAUD, DIKDAS dan DIKMEN.
- Badan Pemeriksa Keuangan. (2023). Laporan Hasil Pemeriksaan atas Efisiensi dan Efektivitas Belanja Daerah. Jakarta: BPK RI.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI