Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Masuk Surga, Terjerumus Neraka: Cukup Karena Lalat?

5 Juni 2025   09:12 Diperbarui: 5 Juni 2025   09:12 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masuk Surga, Terjerumus Neraka: Cukup Karena Lalat? (Dok. Republika.co.id)

Data dari Pew Research Center (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 40% populasi dunia hidup di negara-negara dengan tingkat pembatasan agama tinggi. Ini menunjukkan bahwa kisah dua pemuda tadi tidak jauh dari kenyataan global kita.

Solusinya? Kita perlu membangun ruang-ruang keberagamaan yang adil. Negara, sebagai penjaga konstitusi, wajib memastikan bahwa tak ada kekuatan apapun yang memaksa warga untuk melanggar keyakinan mereka---baik secara halus maupun terang-terangan.

4. Antara Keselamatan Dunia dan Kehidupan Akhirat

Pemuda pertama ingin selamat secara duniawi. Ia memilih kompromi kecil demi menghindari risiko. Tapi justru di situ letak kejatuhannya. Kisah ini membongkar ilusi bahwa "aman di dunia" sama dengan "aman di akhirat". Islam mengajarkan bahwa keselamatan akhirat adalah orientasi utama.

Dalam konteks kehidupan profesional pun, godaan semacam ini hadir. Banyak profesional tergoda menyuap, memalsukan laporan, atau menyembunyikan kebenaran demi "aman" dari konsekuensi. Namun, apakah "lalat-lalat" itu tak berdampak pada integritas spiritual kita?

Solusinya adalah memperkuat muhasabah (refleksi diri). Setiap tindakan kita, sekecil apapun, perlu ditimbang bukan hanya secara pragmatis, tetapi juga spiritual: apakah ini mendekatkan saya kepada ridha Allah atau justru menjauhkan?

5. Lalat-Lalat Zaman Kini: Apa yang Perlu Kita Waspadai?

Hari ini, "lalat" bisa berwujud banyak hal: klik yang salah di internet, komentar kompromistis di media sosial, atau kerjasama bisnis yang tak etis. Semua bisa tampak remeh, tapi justru di situlah setan menggoda. Ketika prinsip dikesampingkan demi keluwesan sosial, maka secara tak sadar kita masuk ke jalan kompromi iman.

Kritik elegan terhadap realitas ini perlu diarahkan ke sistem sosial kita yang kerap menghargai pragmatisme lebih dari integritas. Dalam banyak aspek, kita justru menyanjung mereka yang "bisa menyesuaikan diri", alih-alih menghargai mereka yang konsisten dalam nilai.

Refleksi akhirnya adalah: pendidikan spiritual yang mendalam haruslah berbasis pada kesadaran etis, bukan semata formalitas ibadah. Kita perlu menjadikan kisah ini sebagai cermin untuk membersihkan hati dari "lalat-lalat" yang bisa mengaburkan cahaya tauhid dalam jiwa.

Penutup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun