Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Polemik Penulisan Sejarah Ulang, Apa yang Harus Dilakukan?

26 Mei 2025   17:00 Diperbarui: 26 Mei 2025   17:00 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Problematik Terminologi “Sejarah Resmi” (Dok. Medcom.id)

 "Setiap generasi menulis ulang sejarah, namun kebenaran akan tetap bertahan." – Margaret Atwood

Penulisan Sejarah Sebagai Ekosistem, Bukan Monopoli (Meta AI oleh Samudra Fakta)
Penulisan Sejarah Sebagai Ekosistem, Bukan Monopoli (Meta AI oleh Samudra Fakta)

Daripada menjadikan proyek ini sebagai produk tunggal pemerintah, lebih tepat jika pendekatannya adalah model “ekosistem sejarah nasional”. Pemerintah bisa merilis “kerangka sejarah resmi” sebagai pijakan awal, namun membuka ruang bagi berbagai versi interpretatif yang didukung riset sahih.

Beberapa solusi strategis yang dapat diterapkan:

Konsorsium sejarah nasional: melibatkan sejarawan, sosiolog, jurnalis, korban sejarah, hingga komunitas adat.

Platform daring sejarah terbuka: tempat publik dapat menambahkan cerita, arsip, dan koreksi.

Audit independen atas narasi sejarah: dilakukan oleh panel akademisi lintas kampus dan wilayah.

Literasi sejarah kritis di sekolah: agar pelajar tak hanya menghafal, tapi juga mengkaji sejarah secara kontekstual dan kritis.

Penutup: Sejarah Tak Boleh Menjadi Milik Kekuasaan

Sejarah bukan milik negara, bukan pula milik penguasa yang tengah menjabat. Ia adalah milik bersama—sebuah ingatan kolektif bangsa. Jika sejarah ditulis ulang hanya untuk menyesuaikan kepentingan hari ini, maka kita sedang menggali kubur bagi kebenaran esok hari.

Yang dibutuhkan Indonesia hari ini bukan "sejarah resmi", melainkan sejarah yang adil, terbuka, dan berpihak pada kebenaran. Lalu, siapkah kita menulis ulang sejarah dengan keberanian, bukan sekadar keinginan? Wallahu a’lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun