Dalam kajian historiografi, pembaruan dokumen sejarah secara berkala merupakan keniscayaan. Banyak negara, seperti Jepang atau Jerman, rutin memutakhirkan sejarah nasional mereka berdasarkan temuan baru atau perubahan paradigma keilmuan. Maka dari itu, proyek ini—pada tataran ide—sangat dibutuhkan, bahkan mendesak.
2. Problematik Terminologi “Sejarah Resmi”: Sebuah Alarm Ideologis
"Sejarah bukan milik negara. Ia milik masyarakat yang mengalaminya." – Bonnie Triyana
Salah satu kritik paling tajam datang dari Bonnie Triyana, anggota DPR sekaligus sejarawan. Ia menolak penggunaan istilah "sejarah resmi" karena secara metodologis tak dikenal dalam kajian sejarah akademik. Sebab, istilah ini mengandung implikasi eksklusivitas narasi dan menyuburkan tafsir tunggal yang membungkam pluralitas versi sejarah lainnya.
Sejarah yang ditulis oleh negara sering kali—secara sadar atau tidak—berpotensi menjadi instrumen ideologis. Di masa Orde Baru, misalnya, sejarah tentang G30S hanya disajikan dalam satu versi yang menegasikan kompleksitas aktor dan penyebab. Kini, masyarakat lebih waspada akan kemungkinan itu terjadi lagi.
Maka, penggunaan istilah "sejarah resmi" bukan sekadar problem semantik, melainkan menjadi indikator akan arah dan niat di balik proyek ini. Dalam konteks demokrasi, sejarah harus bersifat terbuka, multi-tafsir, dan siap dikritisi—bukan dipaksakan sebagai satu-satunya kebenaran.
3. Keterlibatan Masyarakat: Dari Akademisi hingga Korban Sejarah
"Yang paling otentik dari sejarah adalah ingatan manusia" – Milan Kundera
Penulisan sejarah tak bisa hanya dilakukan oleh segelintir sejarawan, betapapun kompetennya mereka. Masyarakat sipil, komunitas korban, hingga jurnalis dan budayawan memiliki kontribusi historis yang valid. Ini penting terutama dalam isu-isu sensitif seperti pelanggaran HAM 1965, tragedi Mei 1998, konflik Aceh, hingga reformasi birokrasi dan desentralisasi.
Jika proyek penulisan ulang ini hanya melibatkan tiga akademisi, maka pemerintah sedang meminimalkan legitimasi narasi sejarah itu sendiri. Alih-alih memperkuat akurasi, ini justru membuka ruang bagi kecurigaan terhadap penyusupan agenda politik.