Penonton menyukai konten ini karena ada sensasi melihat negara bertindak tegas. Ketika ketidakteraturan ditertibkan, publik merasa ada harapan. Ini menjadi bentuk pelampiasan atas kekecewaan lama terhadap daerah yang tak kunjung ditangani dengan serius, sekaligus ekspresi dukungan terhadap pemimpin yang mau bergerak cepat merespons keluhan rakyat.
Motif moral turut memengaruhi. Banyak yang merasa "berpihak pada kebaikan" hanya dengan menonton dan berkomentar. Ada kerinduan kolektif terhadap pemimpin yang hadir dan bekerja nyata. YouTuber menangkap euforia ini dengan cermat, lalu membingkai peristiwa secara heroik---meski kadang mengabaikan kerumitan sosial yang menyertainya.
Dari Normalisasi ke Normalitas: Bekasi yang Bergerak
"Air mengalir bukan hanya karena gravitasi, tapi juga karena harapan."
Pemerintah Kabupaten Bekasi tampaknya belajar cepat dari tragedi. Melalui Dinas SDA-BMBK, 65 kegiatan normalisasi sungai ditargetkan rampung di 13 kecamatan sepanjang tahun 2025. Ini bukan proyek tambal sulam, melainkan upaya sistemik untuk mengembalikan daya tampung sungai, mengurangi risiko banjir, dan menjaga suplai air saat kemarau.
Hingga Mei 2025, progres fisik telah mencapai 40 persen. Beberapa titik bahkan menunjukkan dampak positif. Debit air lebih terkendali, endapan lumpur mulai berkurang, dan warga setempat mulai bisa tidur lebih nyenyak saat hujan mengguyur.
Namun, pekerjaan rumah masih banyak. Salah satunya: bangunan liar di bantaran sungai yang jadi hambatan utama. Di sinilah kita menyaksikan bahwa normalisasi fisik membutuhkan normalisasi sosial---kesadaran bersama bahwa sungai bukan tempat mendirikan rumah, melainkan ruang hidup bersama.
3. Bangli di Tepi Sungai: Di Mana Hukum Bertemu Harapan?
"Sungai bukan tempat berlindung dari kemiskinan, apalagi dari hukum."
Kepala Dinas SDA-BMBK, Henri Lincoln, menyampaikan dengan tegas bahwa bangunan liar adalah penghalang utama keberhasilan proyek normalisasi. Alat berat tak bisa masuk, aliran terhambat, dan pengerjaan menjadi tidak optimal.
Namun Henri juga mengakui keterbatasan kewenangan. Penertiban bukan ranah dinasnya. Ia mengandalkan koordinasi erat dengan Satpol-PP. Koordinasi ini, katanya, harus berjalan dengan SOP yang tegas namun tetap manusiawi.