Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Bocah Meniru Kekerasan: Alarm Rumah, Sekolah, dan Masyarakat yang Tak Ramah Anak

15 Mei 2025   20:34 Diperbarui: 15 Mei 2025   20:34 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bayang-bayang Kekerasan yang Terlalu Dini  (Ntvnews.id)

Ketika Bocah Meniru Kekerasan: Alarm Rumah, Sekolah, dan Masyarakat yang Tak Ramah Anak

"Anak-anak meniru apa yang mereka lihat, bukan apa yang kita katakan." – James Baldwin

Oleh Karnita

 

Pendahuluan: Bayang-bayang Kekerasan yang Terlalu Dini

Ironis. Tawuran antar siswa SD di Cilangkap ini terjadi nyaris bertepatan dengan Hari Keluarga Internasional, 15 Mei 2025—peringatan global yang mestinya mengingatkan kita akan pentingnya peran keluarga sebagai fondasi masyarakat. Tahun ini, tema yang diangkat PBB sangat relevan: “Kebijakan Berorientasi Keluarga untuk Pembangunan Berkelanjutan.” Di tengah Bulan Pendidikan, insiden ini justru jadi cermin buram. Retaknya komunikasi, lunturnya pengasuhan, dan hilangnya ruang aman di rumah tampak begitu nyata. Dalam kehidupan yang makin cepat dan kompleks, keluarga dituntut bukan sekadar hadir, tapi juga menjadi jangkar nilai dan pelindung psikologis anak.

Sabtu pagi, 11 Mei 2024. Di Cilangkap, Tapos, Depok, yang seharusnya menjadi ruang bermain dan belajar, dua kelompok siswa SD justru bentrok. Mereka diduga merancang pertemuan itu lewat media sosial, dan membawa penggaris besi sebagai senjata. Tak ada korban jiwa. Tapi luka sosial dan psikologis yang tertinggal—terutama dalam benak anak-anak—jauh lebih tajam dari yang tampak. Berita ini pertama kali diangkat oleh Kompas.com dan CNN Indonesia, lalu bergulir cepat di media nasional.

Kabar itu sontak mengguncang publik. Mengapa anak usia SD bisa meniru pola kekerasan remaja—bahkan dewasa? Kak Seto langsung angkat suara. Ini bukan “kenakalan bocah”, katanya, melainkan indikasi jelas tentang gagalnya sistem pengasuhan, pendidikan karakter, dan kontrol sosial kita bersama.

Sebagai pendidik dan pengamat sosial, saya merasa ini bukan sekadar soal tawuran. Ini alarm keras. Retaknya komunikasi antargenerasi, kehilangan kelekatan emosional, dan gagalnya ruang keluarga sebagai benteng perlindungan harus kita hadapi dengan jujur. Maka, mari kita telusuri akar masalahnya, dan coba rumuskan titik terang yang masih bisa kita upayakan bersama.

1. “Jagoan” dalam Kepala Bocah

“Mungkin seolah-olah itu jagoan, keren, gagah.” – Kak Seto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun