Jalan Panjang Pengabdian Kiki: Setir yang Mengantar Rindu dan Menjaga Nyawa
"Jangan sepelekan profesi sopir. Sopir bisa jadi link keluarga kita yang jauh." – Kiki Kurniawan
Oleh Karnita
Di Balik Setir, Ada Sebuah Cita-cita Lama
Di tengah deru mesin dan dengung ban yang melaju di atas aspal, seorang pria asal Pamalayan, Ciamis, menanamkan mimpinya di balik kemudi. Namanya Kiki Kurniawan. Sejak kecil, ia tak bermimpi jadi insinyur atau PNS. Ia ingin jadi sopir bus—sebuah cita-cita yang mungkin dianggap sederhana oleh sebagian orang, namun menyimpan nilai luhur tentang pengabdian dan tanggung jawab.
Tak banyak orang tahu bahwa pekerjaan sebagai sopir bukan sekadar mengantarkan penumpang dari satu kota ke kota lain. Ada kesabaran dalam menunggu, konsentrasi dalam menyetir berjam-jam, dan keteguhan hati untuk tetap tersenyum di tengah kemacetan atau hujan deras. Kiki telah menjalani semua itu selama lebih dari satu dekade bersama PO Gapuraning Rahayu.
Di balik kemudi, ia bukan hanya pengendali kendaraan, tapi juga pengendali situasi genting. Ia pernah menghindari tabrakan maut di Tol Cipularang hanya dalam hitungan detik. Bagi Kiki, selamatnya penumpang adalah harga mati, bahkan jika harus merelakan spion patah atau badan lelah. Itulah wajah kemanusiaan di balik pekerjaan yang sering luput dari sorotan.
Menyetir Tak Hanya Butuh Keterampilan, Tapi Juga Hati
Menjadi sopir bus bukan sekadar urusan teknik menyetir. Ini adalah pekerjaan yang menuntut kepekaan rasa dan kedewasaan sikap. Kiki tahu benar, bahwa setiap penumpang yang duduk di belakangnya membawa harapan—ingin pulang, ingin bertemu orang tersayang, atau ingin memulai hidup baru di tempat yang jauh.
Pengorbanan Kiki bukan hanya soal waktu yang habis di jalan, tapi juga tentang kerinduan yang kerap tertunda. Meski ia mendapat waktu istirahat yang ideal—sehari kerja, sehari libur—tetap saja jalanan kerap memisahkannya dari keluarga dalam hitungan jam, bahkan hari. Namun ia ikhlas. Sebab baginya, keikhlasan adalah fondasi utama bagi profesi yang menanggung nyawa manusia.
Di tengah kerasnya jalan dan ketatnya jadwal, ia tetap lembut pada prinsipnya. Ketepatan waktu adalah komitmen yang ia jaga. Bukan karena takut dimarahi, tetapi karena tahu, di ujung terminal sana ada seseorang yang menunggu. Penumpang bukan sekadar pelanggan; mereka adalah titipan yang harus dijaga.