Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Buruh Bukan Mesin: Mereka yang Menjaga Detak Hidup Bangsa

1 Mei 2025   21:18 Diperbarui: 1 Mei 2025   21:18 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka keberpihakan adalah keharusan. Bukan dalam bentuk belas kasihan, tapi dalam bentuk pemihakan struktural: subsidi pendidikan, akses afirmatif, dan pemahaman mendalam dari para guru tentang latar belakang murid-muridnya. Karena tanpa itu, pendidikan justru memperlebar jurang ketimpangan.

5. "Buruh adalah Guru yang Mengajar Tanpa Papan Tulis"

"Tak semua guru punya gelar. Ada yang mengajar dengan keringat dan keteladanan."

Sebagai guru, saya biasa berdiri di depan kelas dan bicara tentang masa depan. Tapi setiap kali saya melihat buruh membersihkan sekolah, atau tukang becak mengantar anaknya belajar, saya sadar: saya bukan satu-satunya pengajar dalam hidup anak-anak itu. Mereka punya "guru-guru diam" di rumah---yang mengajar dengan keteladanan, bukan teori.

Kita kadang terjebak dalam anggapan bahwa pendidikan hanya terjadi di ruang kelas. Padahal di rumah-rumah sempit, di warung, di pasar, pendidikan karakter berlangsung tiap hari. Seorang ayah yang memilih jujur meski rugi, atau seorang ibu yang tetap berjualan walau hujan, mereka sedang mengajar sesuatu yang jauh lebih penting: nilai hidup.

Sebagai pendidik, saya merasa malu bila tak ikut menyuarakan penghargaan untuk para buruh ini. Karena merekalah guru sejati yang jarang disebut dalam seminar, tak diundang jadi narasumber, tapi hasil ajarannya tampak di murid-murid yang tangguh dan tahu arti perjuangan.

Penutup: "Setiap Tetes Keringat Mereka, Layak Dikenang dan Dihormati"

Hari Buruh bukan hanya milik aktivis atau serikat pekerja. Ia juga milik para guru yang menyadari bahwa murid-murid kita lahir dari perjuangan sunyi para buruh. Dan dari mereka, kita belajar bahwa martabat tak diukur dari gaji, melainkan dari keberanian bekerja jujur di tengah keterbatasan.

Sebagai guru, saya ingin terus menanamkan pada anak-anak: jangan pernah lupa dari mana kalian berasal. Hormatilah orang tua kalian, tak peduli apa pun pekerjaannya. Karena tanpa mereka, kita tak akan berdiri di sini---mengajar, belajar, dan berharap. Maka, izinkan saya menutup tulisan ini dengan satu pertanyaan:

Masihkah kita menganggap buruh hanya sebagai "pekerja rendahan", atau sudah saatnya kita melihat mereka sebagai penjaga peradaban? Wallahu a'lam. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun