Menjawab Badai dengan Ruang Rekonsiliasi Nasional
Daripada membiarkan tuntutan dan kegelisahan ini mengeras menjadi sekat politik baru, seharusnya Prabowo-Gibran menginisiasi Ruang Rekonsiliasi Nasional yang inklusif. Bukan hanya simbolik, melainkan forum substantif di mana purnawirawan, akademisi, aktivis muda, dan tokoh masyarakat bisa duduk bersama: menegur, mengkritik, sekaligus membangun arah negara ke depan. Sebuah ruang aman untuk mengartikulasikan keresahan dan menggali solusi bersama.
Gagasan ini penting untuk mencegah perasaan "ditinggalkan" yang kerap muncul di masa-masa transisi kekuasaan. Jika suara kritis dianggap musuh, demokrasi hanya tinggal slogan. Namun jika suara itu dijadikan bahan bakar evaluasi, maka republik akan menemukan jalur regenerasi yang sehat. Indonesia butuh ruang-ruang pertemuan yang lebih jujur, bukan sekadar basa-basi politik lima tahunan.
Seorang filsuf pernah berkata, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang bersedia bercermin di tengah badai, bukan hanya saat laut tenang." Maka ruang rekonsiliasi bukan sekadar program, melainkan jiwa baru: keberanian untuk mendengar, untuk berubah, dan untuk mengukuhkan kembali cinta pada tanah air — dalam keberagaman suara dan pikiran.
PenutupÂ
"Persatuan bukan berarti keseragaman, melainkan kesediaan mendengarkan satu sama lain." — Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Dalam gelombang perubahan, kritik sejatinya bukanlah badai penghancur, melainkan kompas penunjuk arah. Tuntutan dari Forum Purnawirawan menunjukkan bahwa demokrasi kita masih bernapas, masih punya ruang untuk suara yang kadang sumbang, namun sesungguhnya vital. Prabowo-Gibran, bila bijak membaca tanda zaman, punya peluang besar bukan sekadar meredam, tapi menyulam kembali persatuan bangsa lewat telinga yang mendengar dan hati yang terbuka.
Di tengah langit yang kadang kelabu, masa depan Indonesia tidak boleh dikunci oleh rasa curiga atau dendam. Ruang rekonsiliasi adalah panggilan sejarah yang harus dijawab dengan gagasan besar dan jiwa besar. Sebab bangsa ini lahir dari keberanian berdialog dalam perbedaan, bukan dari keseragaman yang dipaksakan. Kini, kita dihadapkan pada pilihan: menguatkan persatuan, atau membiarkan luka lama menganga kembali. Wallahu a’lam.
Sumber berita: