Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Ketika Kebun Teh Disulap Jadi Kebun Sayur: Suara Geram dari Pangalengan

26 April 2025   12:24 Diperbarui: 26 April 2025   12:24 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani Teh PTPN melakukan aksi demonstasi akibat alih fungsi kebun teh menjadi kebun sayuran (Dok.Detikjabar.com)

Ketika Kebun Teh Disulap Jadi Kebun Sayur: Suara Geram dari Pangalengan

"Tanah boleh milik negara, tapi air mata yang jatuh di atasnya milik rakyat."

Oleh Karnita

Pendahuluan: Duka dari Perbukitan Pangalengan

Awal pekan ini, publik dikejutkan oleh kabar memilukan dari dataran tinggi Pangalengan, Bandung Selatan. Puluhan hektare kebun teh milik PTPN VIII yang selama ini jadi sumber penghidupan utama bagi ribuan warga, tiba-tiba beralih fungsi menjadi kebun sayur. Dilaporkan oleh DetikJabar (22/4/2025), warga yang sehari-hari menggantungkan hidup sebagai pemetik teh, kini terpaksa menganggur karena tanaman yang mereka rawat puluhan tahun dibabat habis. Pemandangan hijaunya daun teh digantikan dengan tanah gundul dan tanaman hortikultura. Pahit, bahkan sebelum daun tehnya diseduh.

Ketertarikan menulis isu ini bukan karena sentimen sempit agraria, tetapi karena di balik kebun teh yang digusur itu, ada jeritan buruh tani yang kehilangan bukan hanya pekerjaan, melainkan ruang hidup. Situasi ini menggambarkan bagaimana keputusan sepihak, tanpa partisipasi warga lokal, bisa mengacaukan tatanan sosial dan ekonomi yang sudah terbangun sejak lama. Dan ironisnya, ini terjadi di atas tanah negara yang seharusnya dikelola untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Lebih jauh, kasus ini membuka mata kita pada pentingnya pengawasan atas lahan-lahan milik negara yang dikelola oleh BUMN seperti PTPN. Jika tidak ada transparansi, partisipasi masyarakat, dan keberpihakan terhadap petani lokal, maka sejarah penggusuran akan terus berulang. Tidak hanya di Pangalengan, tapi di berbagai wilayah sentra agraria lainnya di Indonesia.

1. "Pemetik Teh Tak Lagi Punya Daun"

"Gimana lagi, pohon tehnya juga gak ada." — Wildan Awaludin, petani teh.

Pernyataan Wildan mewakili kepedihan kolektif warga Pangalengan. Aktivitas memetik teh bukan sekadar rutinitas, tapi bagian dari identitas sosial dan ekonomi mereka. Ketika kebun teh hilang, yang sirna bukan hanya penghasilan harian, melainkan juga keterikatan emosional dengan tanah yang mereka rawat turun-temurun. Wildan dan ratusan petani lain tak pernah membayangkan lahan itu akan "disulap" tanpa pemberitahuan, tanpa proses yang transparan, dan tanpa pilihan alternatif pekerjaan.

Penting dipahami, petani teh itu bukan buruh lepas biasa. Mereka bekerja dengan keahlian yang spesifik dan penuh disiplin. Proses memetik daun teh membutuhkan ketelitian, ketekunan, bahkan ikatan batin dengan musim dan alam. Hilangnya kebun teh berarti memutus mata rantai keahlian itu, yang tentu tidak bisa digantikan dengan begitu saja. Apa jadinya jika ribuan orang harus berganti profesi mendadak hanya karena ada keputusan dari segelintir orang?

Solusi yang dibutuhkan bukan sekadar menanam ulang teh atau mengganti kebun sayur dengan jenis tanaman lain. Perlu langkah pemulihan menyeluruh—mulai dari audit terhadap praktik alih fungsi, jaminan sosial bagi pekerja terdampak, hingga perencanaan partisipatif agar masa depan kebun teh tidak ditentukan secara sepihak. Jangan sampai warga yang selama ini menjaga lahan justru jadi pihak yang paling dikesampingkan.

2. "Kucing-Kucingan di Tanah Ribuan Hektar"

"Posisinya kita memaklumi, memang lahan luas tidak mungkin dipantau terus." — Plt Camat Vena Andriawan.

Pengakuan dari camat ini mengandung ironi besar. Di satu sisi, ia menggambarkan realitas minimnya kapasitas pengawasan terhadap 6.000 hektare lahan yang dikelola PTPN VIII di Pangalengan. Tapi di sisi lain, justru menunjukkan celah besar yang bisa dimanfaatkan oknum untuk melakukan penyerobotan atau alih fungsi liar. Bayangkan, sebuah wilayah seluas itu hanya dijaga oleh segelintir pengawas, tanpa sistem pemantauan digital, tanpa keterlibatan warga sebagai mata dan telinga lapangan.

Situasi ini seperti memberi karpet merah bagi praktik-praktik ilegal. Para pelaku bisa masuk malam hari, membabat pohon teh, lalu menanami kentang atau kol tanpa takut ketahuan. Dan ketika pagi tiba, lahan sudah berubah rupa. Apakah ini hanya soal lemahnya SDM pengawasan? Atau memang ada pembiaran sistematis yang sudah berlangsung lama?

Sudah saatnya pengawasan lahan negara dilakukan secara modern dan inklusif. Teknologi seperti drone, sistem pelaporan partisipatif warga, dan patroli bersama bisa diandalkan untuk mencegah kerusakan lebih jauh. Tapi yang terpenting: libatkan masyarakat sebagai bagian dari sistem pengelolaan, bukan hanya objek yang pasrah menerima perubahan.

3. "Pemerintah Daerah, Jangan Cuci Tangan"

"Kami tidak pernah mengeluarkan izin." — Bupati Bandung, Dadang Supriatna.

Pernyataan ini sekilas tampak tegas, namun menyimpan tanda tanya besar. Jika pemerintah kabupaten mengklaim tidak mengeluarkan izin, mengapa alih fungsi lahan dalam skala besar tetap bisa terjadi? Apakah ini menunjukkan lemahnya sinergi antara pemerintah daerah dan BUMN pengelola lahan? Atau justru ada ketidakhadiran negara dalam proses pengawasan lapangan?

Fungsi pemerintah daerah tak cukup berhenti pada urusan izin tertulis. Mereka bertanggung jawab memastikan tata ruang dijalankan sesuai rencana, dan melindungi warga dari praktik perampasan lahan terselubung. Kalau pemda hanya bilang "kami tidak tahu", maka siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan sosial dan ekologis yang terjadi?

Dalam situasi genting seperti ini, Bupati dan jajaran pemerintah daerah harus proaktif: lakukan investigasi terbuka, hadirkan forum mediasi antara warga dan pihak PTPN, serta bentuk tim audit tata ruang yang melibatkan akademisi, masyarakat sipil, dan petani. Publik tak butuh klarifikasi sepihak, tapi langkah konkret yang berpihak.

4. "Tanah Negara, Tapi Rakyat Jadi Korban"

"Lahan ini milik PTPN, tapi rakyat yang kerja dan jaga."

Kenyataan ini menyakitkan: rakyat yang selama ini bekerja keras di lahan negara, justru tidak dianggap saat terjadi perubahan drastis. Relasi antara PTPN dan warga penggarap selama ini ibarat hubungan kerja informal yang rapuh. Tidak ada kontrak jelas, tidak ada jaminan perlindungan, dan ketika konflik terjadi, mereka mudah terlempar dari sistem.

Ini menunjukkan betapa pentingnya reformulasi model pengelolaan lahan negara. Tak cukup lagi hanya mengandalkan HGU dan kontrak perusahaan, harus ada pendekatan berbasis komunitas—dimana warga yang menggarap diberi kepastian hukum, ruang partisipasi, dan perlindungan. Negara tak bisa terus-terusan berdiri di belakang korporasi sambil abai pada hak rakyat.

Reforma agraria yang selama ini hanya jadi jargon harus benar-benar diwujudkan. Pangalengan bisa jadi contoh: bagaimana relasi pengelola dan penggarap harus dibangun dengan prinsip keadilan, bukan eksploitasi.

5. "Serikat Petani Marah Bukan Tanpa Alasan"

"Kemarin ada 400 orang hadir, beberapa marah dan bongkar saung."

Kemarin ada 400 orang hadir, beberapa marah dan bongkar saung (Dok. Kompas.com)
Kemarin ada 400 orang hadir, beberapa marah dan bongkar saung (Dok. Kompas.com)

Aksi para petani yang mencabut tanaman sayur dan membongkar saung bukanlah vandalisme. Itu bentuk perlawanan. Bagi mereka, diam artinya tunduk pada ketidakadilan yang merampas masa depan anak-anak mereka. Mereka marah karena selama ini tak pernah diajak bicara, tak pernah dilibatkan dalam keputusan, padahal mereka yang paling terdampak.

Namun, perlu diakui juga bahwa perilaku membabat dan mencabut sayuran secara tiba-tiba bukan tindakan yang bijaksana. Padahal, masih bisa menunggu masa panen tiba atau mengupayakan kesepakatan. Aksi semacam itu, jika ditayangkan ke publik tanpa konteks, bisa memunculkan kesan negatif dan menimbulkan ekses lain yang tidak diinginkan, baik dari pihak aparat maupun masyarakat yang tidak memahami duduk perkaranya secara utuh.

Serikat petani dalam konteks ini justru harus diperkuat, bukan dimusuhi. Mereka bisa menjadi kekuatan sipil yang menjaga keberlangsungan pertanian dan mengawal akuntabilitas pengelola lahan. Dalam banyak kasus di Indonesia, keberhasilan mempertahankan lahan rakyat justru datang dari konsolidasi akar rumput, bukan dari kebijakan elite. Pemerintah dan BUMN perlu membuka ruang dialog formal dan berkelanjutan dengan serikat petani. Jangan tunggu amarah berubah jadi konflik horizontal. Dengarkan mereka sebelum semuanya terlambat.

6. "Krisis yang Bisa Jadi Peluang"

"Setelah ditanami lagi, muncul lagi kerusakan."

Pangalengan sedang berada di titik krusial. Alih fungsi lahan adalah krisis nyata, tapi juga bisa jadi peluang menata ulang arah pembangunan desa-desa pertanian. Alih-alih sekadar reboisasi simbolik, harus ada kebijakan jangka panjang yang menjamin keberlanjutan ekosistem ekonomi dan sosial di sana. Pembangunan desa tak bisa hanya soal panen sayur cepat saji.

Pemerintah, PTPN, dan masyarakat sipil harus merancang ulang sistem pengelolaan lahan berbasis komunitas. Sertifikasi bagi petani, pelibatan generasi muda dalam pertanian modern, hingga diversifikasi ekonomi lokal (seperti ekowisata berbasis pertanian) bisa jadi jawaban. Tapi semua itu hanya mungkin jika warga dilibatkan sejak awal.

Krisis ini harus jadi pelajaran nasional. Jangan tunggu lahan-lahan produktif lainnya bernasib sama. Karena yang sedang dirampas bukan cuma tanah, tapi harapan.

Penutup: Pangalengan, Jangan Hanya Dikenang Karena Teh

Pangalengan, Jangan Hanya Dikenang Karena Teh (Dok.Industri Kontan) 
Pangalengan, Jangan Hanya Dikenang Karena Teh (Dok.Industri Kontan) 

Pangalengan bukan sekadar penghasil teh. Ia adalah representasi dari relasi manusia dengan alam, tradisi, dan kedaulatan pangan. Tapi kini, semua itu berada di ujung tanduk karena lemahnya perlindungan atas tanah rakyat. Jika kita diam, sejarah akan mencatat bahwa negara kalah oleh pembiaran dan persekongkolan diam-diam.

Apakah kita akan membiarkan para penjaga kebun teh itu terusir tanpa perlawanan? Atau kita akan berdiri bersama mereka, menjaga daun teh tetap tumbuh di tanah yang seharusnya jadi milik rakyat? Wallahu a'lam. 

Sumber berita:

https://www.detik.com/jabar/berita/d-7880117/geram-petani-teh-pangalengan-saat-lahan-mendadak-jadi-kebun-sayuran

https://www.kompas.com/jawa-barat/read/2025/04/23/083657788/alih-fungsi-lahan-tanpa-izin-di-pangalengan-ptpn-kewalahan-bupati

https://bandung.kompas.com/read/2025/04/22/150922178/ratusan-petani-kebun-teh-pangalengan-cabut-sayuran-dan-bakar-gubuk-protes

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun