Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Ketika Kebun Teh Disulap Jadi Kebun Sayur: Suara Geram dari Pangalengan

26 April 2025   12:24 Diperbarui: 26 April 2025   12:24 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam situasi genting seperti ini, Bupati dan jajaran pemerintah daerah harus proaktif: lakukan investigasi terbuka, hadirkan forum mediasi antara warga dan pihak PTPN, serta bentuk tim audit tata ruang yang melibatkan akademisi, masyarakat sipil, dan petani. Publik tak butuh klarifikasi sepihak, tapi langkah konkret yang berpihak.

4. "Tanah Negara, Tapi Rakyat Jadi Korban"

"Lahan ini milik PTPN, tapi rakyat yang kerja dan jaga."

Kenyataan ini menyakitkan: rakyat yang selama ini bekerja keras di lahan negara, justru tidak dianggap saat terjadi perubahan drastis. Relasi antara PTPN dan warga penggarap selama ini ibarat hubungan kerja informal yang rapuh. Tidak ada kontrak jelas, tidak ada jaminan perlindungan, dan ketika konflik terjadi, mereka mudah terlempar dari sistem.

Ini menunjukkan betapa pentingnya reformulasi model pengelolaan lahan negara. Tak cukup lagi hanya mengandalkan HGU dan kontrak perusahaan, harus ada pendekatan berbasis komunitas—dimana warga yang menggarap diberi kepastian hukum, ruang partisipasi, dan perlindungan. Negara tak bisa terus-terusan berdiri di belakang korporasi sambil abai pada hak rakyat.

Reforma agraria yang selama ini hanya jadi jargon harus benar-benar diwujudkan. Pangalengan bisa jadi contoh: bagaimana relasi pengelola dan penggarap harus dibangun dengan prinsip keadilan, bukan eksploitasi.

5. "Serikat Petani Marah Bukan Tanpa Alasan"

"Kemarin ada 400 orang hadir, beberapa marah dan bongkar saung."

Kemarin ada 400 orang hadir, beberapa marah dan bongkar saung (Dok. Kompas.com)
Kemarin ada 400 orang hadir, beberapa marah dan bongkar saung (Dok. Kompas.com)

Aksi para petani yang mencabut tanaman sayur dan membongkar saung bukanlah vandalisme. Itu bentuk perlawanan. Bagi mereka, diam artinya tunduk pada ketidakadilan yang merampas masa depan anak-anak mereka. Mereka marah karena selama ini tak pernah diajak bicara, tak pernah dilibatkan dalam keputusan, padahal mereka yang paling terdampak.

Namun, perlu diakui juga bahwa perilaku membabat dan mencabut sayuran secara tiba-tiba bukan tindakan yang bijaksana. Padahal, masih bisa menunggu masa panen tiba atau mengupayakan kesepakatan. Aksi semacam itu, jika ditayangkan ke publik tanpa konteks, bisa memunculkan kesan negatif dan menimbulkan ekses lain yang tidak diinginkan, baik dari pihak aparat maupun masyarakat yang tidak memahami duduk perkaranya secara utuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun