Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Ketika Kebun Teh Disulap Jadi Kebun Sayur: Suara Geram dari Pangalengan

26 April 2025   12:24 Diperbarui: 26 April 2025   12:24 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penting dipahami, petani teh itu bukan buruh lepas biasa. Mereka bekerja dengan keahlian yang spesifik dan penuh disiplin. Proses memetik daun teh membutuhkan ketelitian, ketekunan, bahkan ikatan batin dengan musim dan alam. Hilangnya kebun teh berarti memutus mata rantai keahlian itu, yang tentu tidak bisa digantikan dengan begitu saja. Apa jadinya jika ribuan orang harus berganti profesi mendadak hanya karena ada keputusan dari segelintir orang?

Solusi yang dibutuhkan bukan sekadar menanam ulang teh atau mengganti kebun sayur dengan jenis tanaman lain. Perlu langkah pemulihan menyeluruh—mulai dari audit terhadap praktik alih fungsi, jaminan sosial bagi pekerja terdampak, hingga perencanaan partisipatif agar masa depan kebun teh tidak ditentukan secara sepihak. Jangan sampai warga yang selama ini menjaga lahan justru jadi pihak yang paling dikesampingkan.

2. "Kucing-Kucingan di Tanah Ribuan Hektar"

"Posisinya kita memaklumi, memang lahan luas tidak mungkin dipantau terus." — Plt Camat Vena Andriawan.

Pengakuan dari camat ini mengandung ironi besar. Di satu sisi, ia menggambarkan realitas minimnya kapasitas pengawasan terhadap 6.000 hektare lahan yang dikelola PTPN VIII di Pangalengan. Tapi di sisi lain, justru menunjukkan celah besar yang bisa dimanfaatkan oknum untuk melakukan penyerobotan atau alih fungsi liar. Bayangkan, sebuah wilayah seluas itu hanya dijaga oleh segelintir pengawas, tanpa sistem pemantauan digital, tanpa keterlibatan warga sebagai mata dan telinga lapangan.

Situasi ini seperti memberi karpet merah bagi praktik-praktik ilegal. Para pelaku bisa masuk malam hari, membabat pohon teh, lalu menanami kentang atau kol tanpa takut ketahuan. Dan ketika pagi tiba, lahan sudah berubah rupa. Apakah ini hanya soal lemahnya SDM pengawasan? Atau memang ada pembiaran sistematis yang sudah berlangsung lama?

Sudah saatnya pengawasan lahan negara dilakukan secara modern dan inklusif. Teknologi seperti drone, sistem pelaporan partisipatif warga, dan patroli bersama bisa diandalkan untuk mencegah kerusakan lebih jauh. Tapi yang terpenting: libatkan masyarakat sebagai bagian dari sistem pengelolaan, bukan hanya objek yang pasrah menerima perubahan.

3. "Pemerintah Daerah, Jangan Cuci Tangan"

"Kami tidak pernah mengeluarkan izin." — Bupati Bandung, Dadang Supriatna.

Pernyataan ini sekilas tampak tegas, namun menyimpan tanda tanya besar. Jika pemerintah kabupaten mengklaim tidak mengeluarkan izin, mengapa alih fungsi lahan dalam skala besar tetap bisa terjadi? Apakah ini menunjukkan lemahnya sinergi antara pemerintah daerah dan BUMN pengelola lahan? Atau justru ada ketidakhadiran negara dalam proses pengawasan lapangan?

Fungsi pemerintah daerah tak cukup berhenti pada urusan izin tertulis. Mereka bertanggung jawab memastikan tata ruang dijalankan sesuai rencana, dan melindungi warga dari praktik perampasan lahan terselubung. Kalau pemda hanya bilang "kami tidak tahu", maka siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan sosial dan ekologis yang terjadi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun