Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seabad Pram: Anak Semua Bangsa dan Kesadaran Sosial yang Lahir dari Luka Sejarah

20 Maret 2025   13:08 Diperbarui: 20 Maret 2025   13:08 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer (Sumber: Freepik)

Seabad Pram: Anak Semua Bangsa dan Kesadaran Sosial yang Lahir dari Luka Sejarah

Oleh Karnita

Pengantar 

“Betapa aneh kalau setiap kemuliaan dilahirkan di atas kesengsaraan yang lain. Dan betapa kacau diri di tengah kenyataan dunia, dalam tingkahan pendapat dan perasaan tak terumuskan.” ― Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa

Anak Semua Bangsa adalah novel kedua dari seri Tetralogi Buru karya sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Diterbitkan pertama kali oleh Hasta Mitra pada tahun 1980, novel ini ditulis selama masa pembuangan Pramoedya di Pulau Buru. Dengan ketebalan 353 halaman dan terbagi ke dalam 18 bagian, kisah ini merupakan lanjutan dari Bumi Manusia. Meski banyak menuai pujian, buku ini bersama dengan buku sebelumnya sempat dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung pada tahun 1981 karena dianggap menyebarkan ideologi berbahaya. Namun, karya ini tetap hidup dan berpengaruh, bahkan diterbitkan ulang oleh Lentera Dipantara pada tahun 2006, menjadikannya warisan sastra yang tak lekang oleh waktu.

Sinopsis Novel Anak Semua Bangsa

Cerita dibuka dengan duka mendalam: Minke menerima kabar kematian istrinya, Annelies, yang meninggal tak lama setelah sampai di Belanda. Annelies sebelumnya dibawa secara paksa oleh Maurits Mellema, saudara tirinya yang menjadi wali sah menurut hukum kolonial. Kabar duka ini menjadi titik balik kehidupan Minke dan Nyai Ontosoroh, ibu mertua yang telah mengajarkan banyak hal tentang perlawanan, bisnis, dan harga diri. Di tengah kesedihan itu, Minke tak larut dalam kepiluan. Ia memutuskan untuk memperluas pandangan dan memaknai penderitaan bukan lagi sebagai urusan pribadi, melainkan bagian dari penderitaan kolektif rakyat jelata.

Minke kemudian pergi ke Tulangan, kampung keluarga Annelies, untuk menenangkan diri. Di sana, ia bertemu dengan Trunodongso, seorang petani lokal yang dengan gigih mempertahankan tanahnya dari upaya perampasan oleh pabrik gula milik tuan-tuan Eropa. Ia juga bertemu dengan Surati, adik dari Nyai Ontosoroh, yang menjadi korban eksploitasi kekuasaan kolonial. Melalui kisah-kisah rakyat kecil inilah Minke mulai mengenal realitas kejam di luar tembok sekolah elite dan kehidupan borjuis yang dulu ia dambakan. Ia melihat langsung bagaimana rakyat pribumi ditindas, bukan hanya oleh penjajah, tetapi juga oleh bangsanya sendiri yang tunduk pada sistem kolonial.

Pencerahan ini membawa Minke pada satu tekad: menulis untuk bangsanya sendiri. Ia mulai menulis artikel-artikel kritis mengenai ketidakadilan di surat kabar. Namun, tulisan-tulisannya tidak diterima oleh media milik Belanda karena dianggap menentang kepentingan para pemodal. Situasi ini membuat Minke semakin yakin bahwa suara pribumi hanya bisa menggema jika dituliskan dalam bahasa mereka sendiri, oleh penulis dari kalangan mereka sendiri, dan untuk pembaca sesama rakyat jelata. Ia tak lagi ingin menjadi penulis salon, seperti kritik yang ditujukan oleh sahabatnya Jean Marais dan Kommers, melainkan menjadi suara dari suara-suara yang selama ini dibungkam.

Akhir novel menjadi tonggak penting perjalanan ideologis Minke. Ia bukan lagi seorang pelajar terpesona pada segala hal yang berbau Eropa. Ia telah menjadi seorang pemuda pribumi yang sadar akan identitas dan tanggung jawabnya pada bangsanya. Dari seorang kekasih yang kehilangan, Minke tumbuh menjadi intelektual yang tercerahkan. Ia belum sepenuhnya menang dalam perlawanan, namun telah menemukan arah perjuangan. Perjalanan selanjutnya akan membawanya pada perjuangan membangun surat kabar pribumi, yang menjadi bagian penting dalam jilid berikutnya dari Tetralogi Buru: Jejak Langkah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun