Pernah nggak sih kamu buka Instagram, dan melihat foto teman atau artis dengan tubuh yang "sempurna", lalu tiba-tiba kamu merasa jadi nggak pede? Nah, perempuan Gen Z tumbuh dalam dunia digital yang penuh standar kecantikan instan. Tapi menariknya, mereka juga generasi yang berani melawan standar itu melalui gerakan body positivity.Â
Apa Itu Body Positivity?
Body positivity adalah gerakan yang mengajak semua orang---terutama perempuan---untuk menerima dan mencintai tubuhnya apa adanya. Tanpa peduli gendut, kurus, berjerawat, punya stretch mark, atau kulit yang tidak putih. Semua tubuh berharga.
Riset dari Journal of Adolescent Health menunjukkan, paparan konten body positivity bisa bikin perempuan muda lebih percaya diri dan lebih puas dengan tubuhnya. Jadi, nggak heran kalau hashtag seperti #LoveYourBody dan #BodyPositivity booming banget di berbagai platform seperti TikTok dan Instagram.
Sisi Lain: Toxic Positivity
Tapi, di balik semangat yang positif, ada pula sisi gelapnya. Fenomena ini kadang berubah jadi toxic positivity. Maksudnya, semua hal dianggap harus diterima tanpa kritik---termasuk pola hidup yang jelas-jelas berisiko untuk kesehatan.
Jadi, apakah menerima diri artinya kita boleh mengabaikan kesehatan? Pertanyaan inilah yang yang sering kali muncul tentang body positivity.
Lahirnya Body Neutrality
Untuk menyeimbangkan, muncullah konsep body neutrality. Beda tipis dengan body positivity, tapi lebih realistis. Fokusnya bukan pada "Aku harus cinta tubuhku setiap saat" "Aku harus cinta tubuhkan apa adanya", tetapi lebih ke:
"Tubuhku mungkin nggak selalu kelihatan sempurna, tapi yang penting sehat, kuat, dan bisa melakukan banyak hal."
Buat perempuan Gen Z, ini menjadi jalan tengah yang lebih sehat antara mencintai diri dan tetap menjaga kesehatan fisik.
Media Sosial: Friends or Enemy?