Halo pembaca Budiman, saya akan sedikit membagikan cerita saya saat melaksanakan bulan suci Ramadhan di rantau, tepatnya Jogjakarta. Bagi anak rantau seperti saya, menempati daerah yang baru seringkali memunculkan berbagai kejutan budaya atau yang kita sebut dengan culture shock. Dan salah satu momen yang mengejutkan saya adalah pada saat saya bertarawih di sana, saya mendapatkan pengalaman yang berbeda. jika di daerah asal saya sholat tarawih dilaksanakan 11 atau 23 rakaat, maka di beberapa masjid di Jogja imam melaksanakan 23 rakaat, tetapi makmum memiliki kebebasan untuk berhenti di 10 rakaat atau melanjutkan hingga akhir.Fenomena ini cukup membuat saya sebagai orang yang baru pertama kali merasakan Ramadhan di Jogja mengalami kebingungan. Bahkan saya dan teman satu kost saya bertanya- tanya mengapa ada yang pulang lebih dulu, dan ada yang melanjutkan hingga akhir. Saya juga sedikit heran dengan dilaksanakannya ceramah yang lumayan Panjang durasinya setelah sholat isya dilksanakan sebelum melaksanakan sholat tarawih, tetapi saya dan teman saya tetap mengikuti saja aturan tarawih disana hingga akhir meskipun kami sebetulnya kebingungan tetapi ini adalah pengalaman baru bagi saya dan teman saya.Sebetulnya saya memahami bahwa pelaksanaan sholat tarawih bisa dilaksanakan berbeda- beda rokaatnya sesuai tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat setempat dan pemahaman keagamaan yang dianut. Karena saya lihat di beberapa masjid di Indonesia juga umumnya melaksanakan tarawih dengan 8 rakaat ditambah 3 rakaat witir, dan ada juga yang memilih 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir sehingga total menjadi 23 rakaat seperti yang dlakukan di masjid yang berada di kampung halaman saya, Majalengka.
Saya juga mencoba untuk bertanya kepada teman saya yang kebetulan orang sana, kenapa makmun bisa pulang mendahului imam? Dan jawabannya demikian “Mungkin karena masjid yang biasa kamu tarawih banyak dari kalangan mahasiswa dengan pemahaman yang berbeda, ada yang berpegangan Nahdatul Ulama, ada yang Muhamaddiyah dan lainnya bisa jadi, mereka tetapi mereka melaksanakan kepada teman saya yang lain yang bertarawih di masjid yang berbeda, saya menanyakan rakaat terawihnya dan begini katanya “Disini malah lebih cepet, kita melaksanakan di masjid dekat kos ku hanya 11 rakaat, itupun dibuat 4 rakaat lansung, jadi 4 rakaat dua kali salam ditambah 3 rakaat witir” begitu kata Nadia.
Ternyata, di Jogja sendiri khususnya di masjid- masjid yang mengikuti madzhab Syafi’I, tarawih dengan 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir adalah hal yang lazim. Namun, yang menarik adalah adanya fleksibilitas bagi makmum. Setelah menyelesaikan 10 rakaat, sebagai jamaah ada yang memilih untuk mengakhiri sholat dan pulang lebih awal. Sebagian makmum lagi melanjutkan hingga 20 rakaat sebelum akhirnya ditutup dengan 3 rakaat witir bersama imam.
Saya juga sedikit kebingungan pada awalnya harus mengikuti rakaat yang mana saat melihat beberapa jamaah mulai meninggalkan masjid setelah 10 rakaat. Saya awalnya bertanya apakah memang diperbolehkan untuk berhenti lebih awal, ada rasa canggung jika ingin ikut pulang karena saya biasa melaksanakannya 23 rakaat, akhirnya saya melanjutkan hingga akhir rakaat 23 seperti jamaah lainnya. Tetapi pernah satu kali saya juga melaksanakan yang 10 rakaat itu, karena saya ada urusan lain setelah melaksanakank sholat tarawih yaitu mengerjakan tugas bersama teman saya sehingga saya harus pulang lebih cepat. Meskipun awalnya kaget, namun saya mulai terbiasa dengan tradisi seperti ini, malah akhirnya saya kagum dengan fleksibilitas tarawih di sini karena jamaah bisa memilih berapa rakaat yang mau dilaksanakan. contohnya saja saya saat ada keperluan bisa tetap melaksanakan tarawih tetapi dengan rakaat yang lebih sedikit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI