Calon Wakil Gubernur Bali, I Ketut Sudikerta, memiliki rekam jejak yang buruk soal transparansi anggaran publik.
Pasalnya, Wakil Gubernur Bali itu pernah dilaporkan ke KPK karena melakukan gratifikasi dan pencucian uang tentang akta jual beli tanah atas nama Puri Jurit Uluwatu.
Kasus itu berawal dari laporan pemalsuan sertifikat milik Pura Jurit Uluwatu seluas 3.865 are. Dalam kasus itu, ada aliran dana dari pemegang HGB palsu atas nama PT. Maspion ke Sudikerta sebagai pejabat negara.
Aliran dana itu diduga kuat merupakan gratifikasi atas tukar guling tanah dan kebijakan publik. Tukar guling kekuasaan dan dunia bisnis ini yang menjadi motif terbesar dalam kasus korupsi di Indonesia.
Kasus tersebut menjadi rekam jejak yang buruk bagi kapasitas Ketut Sudikerta yang sedang bertarung sebagai Cawagub dalam Pilkada Bali 2018.
Padahal kita seyoginya memilih calon yang terbaik. Baik dari segi kualitas, pengalaman, maupun rekam jejaknya.
Pejabat yang korup secara moral seharusnya tidak maju kembali dalam jabatan publik. Kita pun harusnya juga bisa kritik dan cerdas dalam memilih calon pemimpin.
Calon pemimpin yang memiliki rekam jejak korup, seperti pasangan Ida Bagus Rai  Dharmawijaya Mantra dan Ketut Sudikerta, harus kita tandai dan masukkan ke dalam opsi tidak dipilih.
Hal itu agar Bali terhindar dari pemimpin yang berpotensi melakukan korupsi di kemudian hari. Memilih calon pemimpin yang korup sama dengan mengarahkan Bali ke arah yang dekaden dan regresif.
Mari jadikan diri kita sebagai pemilih yang cerdas. Pemilih yang memilih calon kepala daerah secara rasional berdasarkan kualitas, pengalaman dan rekam jejaknya di masa lalu.