Pada tahun 2020, berdasarkan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) bersama United Nations Children's Fund (UNICEF), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut bahwa dilihat dari populasi penduduk, Indonesia menempati urutan ke-10 angka pernikahan anak tertinggi di dunia. Sekitar 60% angka pernikahan dini di Indonesia terletak di Provinsi Jawa Timur khususnya Madura seperti Kecamatan Pacitan, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Pastinya kita bertanya-tanya mengapa pernikahan dini marak terjadi di Indonesia?
Sebelum berlanjut ke pertanyaan mengapa, sebaiknya kita mulai dengan pertanyaan apa. Apa itu Pernikahan Dini? Menurut Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pernikahan Dini atau dalam bahasa Inggris disebut Child Marriage merupakan ikatan yang dilakukan oleh pasangan yang masih tergolong dalam usia muda pubertas. Pernikahan Dini dilakukan oleh seseorang, baik laki-laki maupun perempuan di saat usianya belum mencapai kematangan yang sebenarnya sesuai Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yakni pria berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun.
Pernikahan Dini kerap kali menjadi suatu budaya yang dijalankan turun temurun. Tentu mengejutkan sekaligus mengherankan karena pernikahan yang seharusnya adalah sakramen sakral justru dijadikan sebagai ajang untuk perampasan hak asasi. Kontroversi Pernikahan Dini biasanya dipicu dari sisi budaya dan kurangnya edukasi. Dari sisi budaya, di Madura sendiri terdapat adat bernama “tan-mantanan” yang memiliki makna pengantin anak kecil yang diperlakukan seperti pengantin orang dewasa.
Dalam penelitian sebelumnya, di pulau Madura masyarakatnya mengadakan perkawinan bahkan sebelum baligh, yakni usia seseorang dalam Islam pada tahap kedewasaan. Usia perkawinan dimulai antara 3-15 tahun untuk perempuan dan 0-20 tahun untuk laki-laki. Mereka mengaku “pernikahan” ini hanya dilakukan untuk ikatan keluarga yang nantinya akan menikahkan anaknya masing-masing.
Adat ini membuat orang-orang di Madura dan sekitarnya menjadikan perempuan sebagai warga kelas nomor dua dan objek semata karena perempuan yang masih belum menikah hingga umur 18 tahun akan dijadikan bahan ejekan dan dijuluki ta’ paju lake. Miris, tradisi ini sudah menjadi hal yang lazim dan justru menjadi identitas bagi masyarakat Madura.
Opini tentang banyaknya kaum perempuan daripada laki-laki sehingga mereka takut tidak mendapatkan jodoh, adanya perasaan hutang budi antarkeluarga, juga karena rasa ingin mengeratkan hubungan keluarga yang sudah renggang biasanya menjadi alasan utama sebuah keluarga menikahkan anaknya yang masih kecil. Sangat disayangkan bahwa tradisi ini hanya memikirkan nama baik keluarga bukan kondisi dari pihak mempelai, khususnya wanita.
Apakah wanita ini siap? Apakah pria ini siap? Bagaimanakah keluarga yang akan mereka bina? Apakah mereka mampu? Apakah sudah diberikan pengetahuan reproduksi dan bagaimana pernikahan sesungguhnya dijalani? Banyak pertanyaan yang cenderung dilupakan, cenderung dilangkahi. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini malah dinomorduakan oleh keluarga disana padahal menjadi penentu masa depan sang anak.
Dampak pernikahan dini tak bisa dianggap sepele terutama bagi perempuan karena mencakup berbagai aspek vital dalam kehidupan mulai dari aspek fisik dan psikologis. Dampak bagi aspek fisik diantaranya adalah organ reproduksi yang belum siap sehingga menyebabkan kesakitan, trauma seks berkelanjutan, pendarahan, keguguran, bahkan yang paling fatal adalah kematian saat melahirkan. Tak hanya itu, juga timbul pula dampak psikologis yang mengkhawatirkan seperti kecemasan, stress, depresi, dan berujung perceraian karena belum siapnya mental dan kondisi diri.
Lantas, yang menarik perhatian saya adalah bagaimana pemerintah dalam penegakan hukumnya merespon atau menanggapi isu ini. Dalam riset yang telah saya lakukan, saya menemukan kurang lebih 7748 data dengan kata kunci “Dispensasi untuk Menikah” dalam website Mahkamah Agung.
Memang berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019 masih dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap ketentuan umur 19 tahun tersebut, yaitu dengan cara orang tua pihak pria dan/atau pihak wanita meminta dispensasi kepada pengadilan. Namun, harus didasari dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Didasari rasa ingin tahu, saya menggali lebih lanjut apa sebenarnya alasan para pemohon melakukan permohonan dispensasi pada Pengadilan mengenai Pernikahan Dini karena jumlah berkas pemohon yang menyentuh angka ratusan bahkan ribuan.
Berdasarkan ketiga putusan yang bersumber dari wilayah yang berbeda di Indonesia, yakni dari Pengadilan Agama Pacitan, Jawa Timur, Pengadilan Agama Pangkajene, Sulawesi Selatan, dan Pengadilan Agama Sintang, Kalimantan Barat, saya bisa menarik satu kesimpulan, yakni banyak masyarakat khususnya di Indonesia yang ingin melaksanakan atau ingin putra atau putrinya melaksanakan pernikahan dini atas alasan “takut zina” atau memang telah berbuat zina dan berujung kehamilan di luar pernikahan. Bahkan, salah satu putusan diatas terdapat pihak yang memberikan alasan melakukan permohonannya hanya karena rasa cinta yang sudah tidak dapat ditahan lagi.
Sangat tidak masuk akal bagi saya banyak putusan yang mengabulkan permohonan dispensasi ini karena alasan yang bisa dibilang sepele. Dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan juga disebutkan bahwa permohonan akan dikabulkan apabila ada "alasan yang sangat mendesak". Di dalamnya juga tertera bahwa maksud "alasan yang sangat mendesak" berarti memang tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilaksanakan pernikahan.
Apakah sekadar takut zina merupakan alasan yang sangat mendesak? Apakah rasa cinta yang sudah tidak dapat ditahan lagi merupakan alasan yang sangat mendesak dan tidak meninggalkan pemohon pilihan lain? Bagi saya, jawabannya tentu saja tidak.
Berdasarkan website Mahkamah Agung Republik Indonesia Pengadilan Agama Pangkajene, disebutkan beberapa persyaratan untuk memohon Dispensasi Nikah yakni:
- Fotocopy KTP Orang Tua yang dimohonkan Dispensasi Kawin (bermeterai 6000),
- Fotocopy Akta Kelahiran Orang Tua yang memohonkan Dispensasi Kawin (bermeterai 6000),
- Surat Penolakan dari Kantor Urusan Agama (KUA),
- Surat Keterangan Kepala Desa, yang isinya akan mengurus Dispensasi Kawin,
- Surat Permohonan Dispensasi Kawin yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan,
- Pembayaran Panjar Biaya Perkara (biasanya melalui Bank).
Persyaratan sederhana ini dianggap sebagai “bukti pendukung” sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Pemaknaan "alasan yang sangat mendesak" dan "bukti-bukti pendukung" ini terlalu variatif dan tidak memiliki batasan pasti sehingga penafsirannya bagi saya terlampau luas. Kemudahan proses dispensasi pernikahan ini juga tentunya menjadi salah satu faktor pendorong banyak orang tua mengambil “jalan pintas” atas permasalahan anaknya.
Pernikahan Dini dianggap solusi terbaik untuk mengatasi pergaulan bebas. Berpacaran lama? Menikah. Menginap di satu kamar yang sama? Menikah. Takut anak berbuat zina? Menikah. Hamil di luar nikah? Menikah. Menikah justru dijadikan jalan keluar yang seharusnya pernikahan merupakan proses yang membutuhkan pemikiran serta mental yang siap dan matang. Isu ini tak bisa selamanya kita normalisasi.
Kita tak bisa menyepelekan masa depan bangsa Indonesia dengan tidak adanya edukasi seksual bagi remaja. Edukasi ditujukan bagi kalangan remaja, bukan untuk mengajarkan mereka melakukannya, melainkan memberikan informasi atas dampak seks bebas yang nantinya dapat berujung pada pernikahan dini.
Seperti yang disampaikan Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world,” Kata-kata ini bermakna besar bagi saya karena saya sangat sependapat dengan Nelson Mandela. Menurut saya, pendidikan adalah satu-satunya jalan pembuka perubahan bagi masa depan bangsa Indonesia.
Pelaksanaan pendidikan ini tak hanya melalui sekolah atau lembaga formal, melainkan dari keluarga sendiri karena keluarga berperan sebagai pendidikan pertama dan utama bagi anak. Neng Djubaedah, S.H., M.H., Ph.D., dalam seminar nasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang bertemakan POLEMIK PERNIKAHAN DINI: Pandangan Hukum, Psikologi, Kesehatan, dan Ketahanan Keluarga menyampaikan bahwa remaja tak hanya membutuhkan pendidikan formal namun juga membutuhkan pendidikan mengenai nilai agama dan moral.
Tak hanya bagi remaja, orang tua pun perlu diberikan pembekalan atau edukasi tentang Parenting, misalnya berupa Sosialisasi Pendewasaan Usia Nikah oleh Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Desa Pagelaran, Cianjur, Jawa Barat pada bulan Februari silam. Pernikahan Dini dapat dicegah lewat peningkatan kesadaran pendidikan, pengetahuan kesehatan mental, fisik, reproduksi, dan pendewasaan yang tentunya tak lepas dari pengaruh orang tua.
Harapannya dengan dilaksanakannya berbagai penyuluhan, sosialisasi, dan peningkatan kesadaran dengan berbagai cara lainnya, angka pernikahan dini di Indonesia dapat menurun khususnya di wilayah-wilayah yang tadi telah disebutkan. Bukankah lebih baik "jalan pintas" yang diambil itu dialihkan pada kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat dan berbobot seperti berolahraga, melukis, menari, akting, belajar, dan menggali minat serta bakat lainnya sehingga anak akan mengenal dirinya lebih lagi dan dapat memanfaatkan waktunya pada masa muda mempersiapkan dirinya menuju kedewasaan dibandingkan terjebak dalam pernikahan dini.
Tentu saja di dalam pelaksanaanya pemerintah harus dapat memberikan perlindungan hukum atau payung hukum bagi terutama dalam konteks Dispensasi Nikah yang menurut saya masih sangat luas maknanya. Sekiranya, undang-undang ini dapat digantikan atau diubah menjadi lebih menyempit agar masyarakat tak sewenang-wenang mengajukan permohonan Dispensasi pada Pengadilan. Dengan langkah ini, pemerintah akan mampu menjadi garda terdepan, mendukung generasi penerusnya menggapai cita-citanya lalu memang menikah karena kesiapan dan kemauannya sendiri.
Selain langkah preventif yakni penyuluhan, seminar, sosialisasi, dan kegiatan edukasi lainnya, perlu juga dilakukan tindakan represif oleh pemerintah dengan adanya kejelasan hukum bagi masyarakatnya. Saya optimis, Indonesia bisa semakin maju, makmur, dan sejahtera, masyarakatnya berpendidikan tinggi, dan memperoleh kesuksesan di masa depan. Indonesia mampu merealisasikan salah satu tujuannya berdasarkan sila keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Langkah pembuka yang saya rasa tepat untuk dicanangkan adalah penekanan angka pernikahan dini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI