Mohon tunggu...
kardianus manfour
kardianus manfour Mohon Tunggu... Editor - belajar mencintai kebijaksanaan hidup

mahasiswa filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Senandung tentang Negeri dan Kampung Halaman

12 Januari 2021   17:25 Diperbarui: 12 Januari 2021   17:35 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

   
           Malam ini, saya dan kawan saya sedang bersenandung tentang negeri dan kampung halaman kami.
Senandung  ini dimulai ketika teman saya mencurhatkan tentang demokrasi deliberatif Habermas. Apakah demokrasi deliberatif :  demokrasi yang membebaskan bisa diaktualisasikan di negara kami yang tercinta ini? Saya menimpali tidak!! Alasannya masih banyak orang yang belum bisa berkomunikasi secara rasional. Masih banyak orang yang memiliki daya kognitif dan moral yang rendah. Masih banyak kaum fundamentalis baik dari  kelompok agama maupun dari  kelompok mahasiswa menganggap diri paling benar. Dan tentu saja keras kepalanya bukan main!

Saya pun berkata mungkin negeri kami ini perlu menjadi dan membentuk negara serikat seperti yang diusulkan Mangunwijaya. Tapi tetap ada sisi lemahnya.

Kami sepakat bahwa yang paling penting saat ini adalah pendidikan.  Kemiskinan bisa diatasi dengan pendidikan.

Berbicara tentang kemiskinan, kami ingat akan daerah kami yang nun jauh di sana, NTT.

Mula-mula kami berbicara tentang Gereja di sana. Bukankah daerah kami mayoritas Katolik? Apa peran Gereja untuk memberantas kemiskinan? Apa Gereja di sana tidak belajar dari sejarah gereja yang semuanya tertuang dalam Ajaran Sosial Gereja? Saat kami mendengar penjelasan dosen Ajaran Sosial Gereja tentang sumbangsih Gereja masa lampau terhadap kehidupan masyarakat, kami sangat bangga. Bahwasanya Gereja turut menuntaskan kemiskinan di dunia. Gereja terjun langsung. Gereja tidak hanya mengurus hal-hal rohani saja. Kami bangga akan hal itu.

Lalu bagaimana dengan Gereja sekarang ini ? Agaknya kurang belajar dari ASG.   Gereja masa lalu sangat membantu untuk meningkatkan produksi pertanian. Kalau tidak percaya baca saja ASG dalam ensiklik Mater et Magistra. Lalu apakah Gereja saat ini sudah banyak membantu untuk meningkatkan produksi pertanian daerah kami? Misalnya dengan membantu mengusulkan kepada pemerintah daerah (suara gereja pasti didengar karena dominan penjabat pemerintah di daerah kami katolik) untuk menyediakan sarana penunjang (jalan raya, pupuk, traktor dan masih banyak hal lainnya). Saya kira belum, mungkin  masih dalam proses. semoga itu hanya pikiran dangkal kami.  Semoga itu hanya perspektif parsial kami. Mengingat kami juga bagian dari Gereja.

Lalu teman saya bertanya tentang usaha konkret kami sebagai kaum muda  dan mahasiswa NTT. Yah dengan belajar. Sebagai mahasiswa kami perlu belajar. Dengan harapan membangun NTT menjadi lebih baik. Apakah mahasiswa NTT datang jauh-jauh dari timur benar- benar belajar? Di situlah kami merasa sedih. Sedih dengan kami sendiri. Ada banyak mahasiswa menghabiskan waktu dengan mabuk- mabukkan. Bermain game dan seterusnya. Orang tua kami dengan lampu pelita  di samping tempat tidurnya membayangkan anak mereka sedang kuliah dan belajar dengan tekun. Ternyata anak mereka sedang mabuk. Kasihan yah  orang tua NTT.

Tetapi saya dan teman saya, masih boleh berharap banyak pada mereka yang benar- benar serius datang kuliah ke sini, yang jauh dari kampung halaman kami.

Kami menghayal seandainya orang- orang cerdas yang memiliki kesadaran membangun negeri ini,  membentuk suatu kelompok  untuk mulai memajukan pendidikan dengan lebih baik dan menyejahterakan rakyat. Entah mereka dari kaum pemerintahan, Agamawan, anak muda dan lain-lain.
 
Kami menghayal seandainya orang- orang cerdas NTT yang  berkesadaran membentuk aliansi untuk membangun NTT menjadi propinsi yang lebih baik. Entah itu dari pejabat pemerintah atau dari Gereja.

Kami menghayal seandainya mahasiswa kami NTT berhasil belajar dengan tekun dan kembali ke kampung halaman kami untuk membangun daerah menjadi lebih baik. Entah itu dari Kupang, Manggarai, Solor dan lain sebagainya.

Saya dan teman saya kembali pulang ke kamar masing-masing untuk belajar. Karena kami sadar bahwa hidup ini bukan untuk menghayal saja.
Kami belajar karena ingat negeri kami. Ingat kampung halaman kami. Ingat Gereja kami. Ingat orang tua kami. Lebih dari itu kami sadar bahwa kami adalah  mahasiswa NTT yang akan pulang ke rahim tempat kami waktu kecil bersenandung di atas pohon.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun