Mohon tunggu...
kardianus manfour
kardianus manfour Mohon Tunggu... Editor - belajar mencintai kebijaksanaan hidup

mahasiswa filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konflik dalam Keluarga dan Model Penyelesaiannya

5 Desember 2019   22:03 Diperbarui: 5 Desember 2019   22:02 4342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Komunikasi interpersonal tidak hanya dibutuhkan oleh masyarakat, akan tetapi di dalam sebuah keluarga membutuhkan yang namanya komunikasi dengan baik supaya semakin berkembang pola adaptasi terhadap keluarganya. Pernikahan merupakan salah satu bentuk interaksi antara manusia yang sifatnya paling intim dan setiap individu yang menikah sangat mengharapkan bahwa pernikahan mereka langgeng dan bertahan sampai akhir hayat.

Pada dasarnya, teori ini tidak lebih dari sekedar serangkaian pertanyaan yang sering kali menentang secara langsung pendapat-pendapat fungsionalis.  Bagi para fungsionalis, keluarga adalah sesuatu yang statis, atau paling-paling, dalam kondisi ekuilibilium yang terus bergerak, namun bagi Dahrendorf dan para teoritisi konflik, setiap keluarga tunduk pada proses-proses perubahan. Kalau para fungsionalis menitikberatkan pada keteraturan masyarakat, para teoritisi konflik melihat pertentangan dan konflik pada setiap sistem sosial.

Individu tidak harus menginternalisasikan harapan-harapan ini atau menyadarinya agar bisa bertindak berdasarkan sebagaimana yang diharapkan. Namun, karena kondisi yang ada tidak pernah ideal, maka berbagai faktor turut mencampuri proses ini.   Teori ini di mana manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai andil dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Ia menyebutkan otoritas tidak terletak dalam individu tapi dalam posisi. Sumber struktur sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan.

Teori konflik juga berpendapat, bahwa konflik yang terjadi di dalam keluarga tidak semata-mata menunjukkan fungsi negatifnya saja, tetapi dapat pula menimbulkan dampak positif, misalnya meningkatkan solidaritas dan integrasi suatu kelompok atau sistem. Kalangan konflik teori mengakui bahwa kesatuan keluarga merupakan faktor penting dalam upaya meredam konflik. Katup peredam ini dapat bersifat kelembagaan maupun berwujud tindakan-tindakan atau kebiasan-kebiasaan.  

Dahrendrof menekankan tidak hanya hubungan antara kewenangan yang sah dan posisi tertentu dan peranan, tetapi juga posisi-posisi dalam keluargayang pengaruhnya ditentukan oleh penggunaan paksaan. Dalam hal ini, ia mencontohkan, seperti posisi-posisi yang secara tipikal berfungsi untuk "mengoordinasikan asosiasi-asosiasi secara imperatif". Ia mendefinisikan hal tersebut sebagai bagian-bagian institusi yang terorganisasi dengan tujuan tertentu. Hal ini dapat ditemukan pada negara sebagai keluarga yang terorganisasi secara politis demikian pula dalam organisasi-organisasi ekonomi dan kultural, seperti perusahaan, sekolah, dan gereja. 

Aspek terakhir teori Dahrendrof adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik, golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif.

Teori konflik ini ternyata terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam keluarga di samping konflik itu sendiri. Keluarga selalu dipandangnya dalam kondisi konflik. Mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat. Keluarga seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan pertentangan. 

Oleh karena konflik merupakan aspek konflik normatif dalam suatu hubungan, maka keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan. Konflik dalam keluarga yang tidak terkelola dengan efektif akan menjadi gejala atau faktor yang menyumbang akibat yang negatif pada individu maupun keluarga secara keseluruhan.

Pengelolaan konflik secara destruktif dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut:

1.  Persepsi negatif terhadap konflik

Individu yang menganggap konflik sebagai hal yang negatif akan cenderung menghindari konflik atau menggunakan penyelesaian semu terhadap konflik. Individu yang demikian biasanya sering gagal mengenai pokok masalah yang menjadi sumber konflik, karena perhatiannya sudah berfokus pada konflik sebagai problem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun