Mohon tunggu...
kardianus manfour
kardianus manfour Mohon Tunggu... Editor - belajar mencintai kebijaksanaan hidup

mahasiswa filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konflik dalam Keluarga dan Model Penyelesaiannya

5 Desember 2019   22:03 Diperbarui: 5 Desember 2019   22:02 4342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

1. Pengantar

Keluarga merupakan pranata yang pertama dan utama dalam masyarakat. Oleh karena itu, konflik dalam keluarga merupakan suatu keniscayaan. Konflik di dalam keluarga dapat terjadi karena adanya perilaku oposisi atau ketidaksetujuan antara anggota keluarga. Prevelensi konflik dalam keluarga berturut-turut adalah konflik orang tua-anak dan konflik pasangan. Walaupun demikian, jenis konflik yang lain juga dapat muncul, misalnya menantu-mertua, atau dengan saudara ipar. Penulis tertarik membahas masalah sosiologi tentang konflik yang terjadi dalam keluarga akhir-akhir ini dan penyebab konflik serta model penyelesaiannya.

Untuk mengkaji lebih dalam mengenai konflik terselubung dalam keluarga ini, penulis menggunakan paradigma teori konflik milik Ralf Dahrendorf.  Dalam teori konflik ini dijelaskan bahwa sebenarnya berorientasi bahasan struktur dan institusi sosial. Komunikasi sesama pasangan suami istri itu sangatlah penting karena dari situlah akan menciptakan sebuah keluarga yang utuh dan harmonis. Konflik yang intens dan berlanjut antarpasangan suami istri yang dipicu oleh berbagai hal sering membuat pasangan tersebut memilih jalan pintas untuk bercerai, dan faktor komunikasi sebagai kendala utama penyebab terjadinya konflik yang timbul akhir-akhir ini.

II. Konflik Dalam Keluarga Dan Model Penyelesaiannya Dalam Perspektif Ralf Dahrendorf

Pada umumnya hubungan antara anggota keluarga merupakan jenis hubungan yang sangat dekat atau memiliki intensitas yang sangat tinggi. Keterikatan antara pasangan, orang tua-anak, atau sesama saudara berada dalam tingkat tertinggi dalam hal kelekatan, afeksi, maupun komitmen. Ketika masalah yang serius muncul dalam sifat hubungan yang demikian, perasaan posesif yang selama ini dibangun secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan negatif yang menimbulkan konflik. Pengkhianatan terhadap hubungan kasih sayang, berupa perselingkuhan atau kekerasan dalam keluarga, dapat menimbulkan kebencian yang mendalam sedalam cinta yang tumbuh sebelum terjadinya pengkhianatan.

Hubungan dalam keluarga merupakan hubungan yang bersifat kekal. Orang tua akan selalu menjadi orang tua, demikian juga saudara. Tidak ada istilah mantan orang tua atau mantan saudara. Oleh karena itu, dampak yang dirasakan dari konflik keluarga sering kali bersifat jangka panjang. Bahkan seandainya konflik dihentikan dengan mengakhiri hubungan, misalkan berupa perceraian atau pergi dari rumah, sisa-sisa dampak psikologis dari konflik tetap membekas.

Oleh karena sifat konflik normatif, artinya tidak bisa dielakkan, maka vitalitas hubungan dalam keluarga sangat tergantung respon masing-masing terhadap konflik. Frekuensi konflik mencerminkan kualitas hubungan, artinya pada hubungan yang berkualitas frekuensi konflik lebih sedikit. Kualitas hubungan dapat mempengaruhi cara individu dalam membingkai persoalan konflik. Keluarga yang memiliki interaksi hangat menggunakan pemecahan masalah yang konstruktif, adapun keluarga dengan interaksi bermusuhan menggunakan pemecahan masalah yang destruktif.

Dalam Jurnal tentang Konflik Perkawinan dan Model Penyelesaian Konflik Pada Pasangan Suami Istri. Eva Meizara Puspita Dewi. Jurnal psikologi keluarga, Universitas Negeri Makassar, Makassar 2008 dikatakan bahwa konflik selalu ada di tempat kehidupan yang bersama, bahkan dalam hubungan yang sempurna sekalipun konflik tidak dapat dapat dielakkan dan konflik semakin meningkat dalam hubungan yang serius.

Perselisihan, pertentangan dalam sebuah konflik sangatlah menimbulkan saling ketidakcocokan terhadap pasangan suami istri. Dinamika kehidupan dalam lingkup rumah tangga semakin hari semakin kompleks dan pasangan suami istri dituntut untuk menghadapi kondisi tersebut dengan segenap upaya yang bisa dikerahkan oleh kedua belah pihak. Konflik yang timbul dari upaya penyelesaian masalah ketika tidak terpecahkan dan terselesaikan akan menganggu dan mengakibatkan ketidakharmonisan dalam hubungan rumah tangga.

Setiap ikatan perkawinan dan rumah tangga yang dibangun oleh pasangan suami istri (pasutri) akan senantiasa dihadapkan dengan masalah-masalah tertentu yang secara langsung akan menimbulkan konflik, maka demikian pula halnya dengan pasutri yang tinggal bersama maupun pada pasutri yang tinggal terpisah dalam menjalani kehidupannya. Pertanyaan yang sering muncul adalah apa yang menyebabkan konflik  dalam keluarga? Dan bagaimana model penyelesaian konflik di dalam rumah tangga?

Fenomena perkawinan beda suku sebagai salah satu bentuk perubahan, karena perkembangan jaman. Gejala itu kebanyakan terjadi dikota-kota besar di Indonesia. Dengan meningkatnya mobilisasi ke kota-kota besar, maka kemungkinan bertemunya individu-individu dengan latar belakang etnik yang beragam juga semakin besar. Tidak dapat dipungkiri, hal ini juga memperbesar timbulnya perkawinan beda suku.

Komunikasi interpersonal tidak hanya dibutuhkan oleh masyarakat, akan tetapi di dalam sebuah keluarga membutuhkan yang namanya komunikasi dengan baik supaya semakin berkembang pola adaptasi terhadap keluarganya. Pernikahan merupakan salah satu bentuk interaksi antara manusia yang sifatnya paling intim dan setiap individu yang menikah sangat mengharapkan bahwa pernikahan mereka langgeng dan bertahan sampai akhir hayat.

Pada dasarnya, teori ini tidak lebih dari sekedar serangkaian pertanyaan yang sering kali menentang secara langsung pendapat-pendapat fungsionalis.  Bagi para fungsionalis, keluarga adalah sesuatu yang statis, atau paling-paling, dalam kondisi ekuilibilium yang terus bergerak, namun bagi Dahrendorf dan para teoritisi konflik, setiap keluarga tunduk pada proses-proses perubahan. Kalau para fungsionalis menitikberatkan pada keteraturan masyarakat, para teoritisi konflik melihat pertentangan dan konflik pada setiap sistem sosial.

Individu tidak harus menginternalisasikan harapan-harapan ini atau menyadarinya agar bisa bertindak berdasarkan sebagaimana yang diharapkan. Namun, karena kondisi yang ada tidak pernah ideal, maka berbagai faktor turut mencampuri proses ini.   Teori ini di mana manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai andil dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Ia menyebutkan otoritas tidak terletak dalam individu tapi dalam posisi. Sumber struktur sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan.

Teori konflik juga berpendapat, bahwa konflik yang terjadi di dalam keluarga tidak semata-mata menunjukkan fungsi negatifnya saja, tetapi dapat pula menimbulkan dampak positif, misalnya meningkatkan solidaritas dan integrasi suatu kelompok atau sistem. Kalangan konflik teori mengakui bahwa kesatuan keluarga merupakan faktor penting dalam upaya meredam konflik. Katup peredam ini dapat bersifat kelembagaan maupun berwujud tindakan-tindakan atau kebiasan-kebiasaan.  

Dahrendrof menekankan tidak hanya hubungan antara kewenangan yang sah dan posisi tertentu dan peranan, tetapi juga posisi-posisi dalam keluargayang pengaruhnya ditentukan oleh penggunaan paksaan. Dalam hal ini, ia mencontohkan, seperti posisi-posisi yang secara tipikal berfungsi untuk "mengoordinasikan asosiasi-asosiasi secara imperatif". Ia mendefinisikan hal tersebut sebagai bagian-bagian institusi yang terorganisasi dengan tujuan tertentu. Hal ini dapat ditemukan pada negara sebagai keluarga yang terorganisasi secara politis demikian pula dalam organisasi-organisasi ekonomi dan kultural, seperti perusahaan, sekolah, dan gereja. 

Aspek terakhir teori Dahrendrof adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik, golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif.

Teori konflik ini ternyata terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam keluarga di samping konflik itu sendiri. Keluarga selalu dipandangnya dalam kondisi konflik. Mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat. Keluarga seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan pertentangan. 

Oleh karena konflik merupakan aspek konflik normatif dalam suatu hubungan, maka keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan. Konflik dalam keluarga yang tidak terkelola dengan efektif akan menjadi gejala atau faktor yang menyumbang akibat yang negatif pada individu maupun keluarga secara keseluruhan.

Pengelolaan konflik secara destruktif dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut:

1.  Persepsi negatif terhadap konflik

Individu yang menganggap konflik sebagai hal yang negatif akan cenderung menghindari konflik atau menggunakan penyelesaian semu terhadap konflik. Individu yang demikian biasanya sering gagal mengenai pokok masalah yang menjadi sumber konflik, karena perhatiannya sudah berfokus pada konflik sebagai problem.

2. Perasaan marah

Sebagaimana konflik merupakan aspek normatif dalam suatu hubungan, marah sebenarnya juga merupakan hal yang alamiah dirasakan individu yang terlibat konflik. Mengumbar atau mendendam marah sama buruknya bagi kesehatan hubungan maupun mental individu. 

3. Penyelesaian oleh waktu

Sebagai upaya menghindari munculnya persaan negatif dalam menghadapi konflik, misalnya marah, sedih, takut, sering kali individu memilih mengabaikan masalah yang menjadi sumber konflik. Harapannya adalah masalah tersebut akan selesai dengan sendirinya oleh berjalannya waktu.

III. Penutup

Pengelolaan konflik sosial dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: penguasaan diri yakni ketika salah satu pihak berupaya memaksakan kehendaknya baik dilakukan secara fisik maupun psikologis. Kemudian, Penyerahan yaitu ketika salah satu pihak secara sepihak menyerahkan kemenangan pada pihak lain, pengacuhan  ketika salah satu pihak tidak melakukan apa-apa sehingga cenderung membiarkan terjadinya konflik. penarikan ketika salah satu pihak menarik diri dari keterlibatan dengan konflik, tawar-menawar, ketika pihak-pihak yang berkonflik saling bertukar gagasan, dan melakukan tawar-menawar untuk menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan masing-masing pihak, dan campur tangan pihak ketiga. Ketika ada pihak yang tidak terlibat konflik menjadi penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak-pihak yang berkonflik. Dari berbagai cara tersebut hanya negoisasi dan pelibatan penengah yang merupakan cara penanganan konflik yang bersifat konstruktif.

DAFTAR PUSTAKA

George, Ritzer, Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Bantul, Kreasi Wacana Offset, 2014

Goorge, Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta : Rajawali Pers, 2014

Haryanto, Sindung, Spektrum Teori Sosial dari Klasik Hingga Postmodern, Jogjakarta:Ar-ruzz Media, 2012

I.B. Wirawan, Teori-teori sosial dalam tiga paradigma,Jakarta:Kencana Prenada media Group,     2012

Lestari, Sri, Psikologi sosial, Jakarta: Kencana  Prenada Media Group 2012

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun