Setiap hari kita dibanjiri notifikasi WhatsApp, scroll media sosial tanpa henti, potongan video yang viral, hingga headline berita yang saling tumpang tindih. Kita tahu konflik di luar negeri, tahu siapa yang sedang trending, dan teknologi AI yang bisa menciptakan karya secepat kedipan mata. Kita tahu. Tapi... apakah kita benar-benar paham?
Banyak dari kita bisa menyebutkan isu-isu hangat. Tapi saat ditanya, apa dampaknya buat kita? Mengapa penting untuk dibahas? Apa langkah yang bisa kita ambil? kita sering terdiam. Karena sebenarnya, kita hanya mengambang di permukaan.
Ini bukan salah kita sepenuhnya. Algoritma media sosial memang mendesain informasi jadi cepat, instan, dan dangkal. Kita dipicu untuk terus menyerap tapi tidak diberi jeda untuk mencerna. Akibatnya, kita kenyang informasi, tapi kosong pemahaman. Kita pintar menyebut, tapi belum tentu sanggup menjelaskan.
Coba tengok sekeliling. Saat pemilu, hoaks menyebar seperti api di musim kemarau. Grup keluarga penuh ujaran, padahal belum tentu akurat. Isu vaksin pernah membuat tetangga tak mau disuntik karena termakan narasi konspirasi dari video potongan. Kita melihat dampaknya  konflik, ketakutan, dan keputusan yang salah kaprah.
Soal bansos pun sama. Banyak warga termakan info hoaks, formulir palsu, situs tak resmi, atau "bocoran dalam" yang ujungnya tipu-tipu. Di sektor pendidikan, narasi soal jurusan favorit atau kuliah ke luar negeri juga sering diglorifikasi tanpa konteks. Padahal, realitasnya lebih kompleks. Bahkan di ruang agama, potongan ceramah yang keluar dari konteks bisa jadi senjata gesekan sosial.
Kita hidup di zaman 'share dulu, pikir belakangan'. Era di mana retorika menang atas logika. Tapi ini bisa berubah. Kita bisa mulai dari hal sederhana baca lebih pelan, tanya lebih banyak, tulis ulang dengan kata sendiri, dan mulai mengandalkan sumber primer, bukan hanya hasil forward.
Karena menjadi manusia bukan soal tahu segalanya, tapi soal paham cukup dalam untuk bersikap bijak.
Dan itu hanya bisa lahir dari kebiasaan berpikir. Bukan sekadar menerima.
Mari belajar lagi untuk paham. Bukan hanya tahu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI