Mohon tunggu...
KAP Indonesia
KAP Indonesia Mohon Tunggu... Freelancer - Organisasi Nirlaba

KAP Indonesia adalah Organisasi Nirlaba, KAP berusaha untuk menguatkan kapasitas kelompok marjinal yang terhambat akses pada sektor pendidikan, sumberdaya ekonomi, sosial budaya, hukum.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menciptakan Rumah Aman sebagai Alternatif Pencegahan Kasus Kekerasan pada Anak

1 Mei 2020   12:06 Diperbarui: 1 Mei 2020   13:04 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Putri Nurfitriani Iswardani 

Anak yang dilacurkan (AYLA) ialah sebuah permasalahan sosial terkait anak yang seolah tak pernah terselesaikan. Dari tahun ke tahun, permasalahan serupa selalu ada. Tentu dengan gejala sosial yang berubah. Di Kota Bandung sendiri, hal ini telah berlangsung sangat lama. Sejak dilaksanakannya Program Peduli pada mulai tahun 2015-2019, KAP Indonesia telah mendampingi sebanyak 320 anak berasal berbagai wilayah. Di antaranya wilayah Kecamatan Cibeunying Kaler, Cidadap, Sukajadi, Coblong, Andir, Rancasari dan Batununggal. Meski tak semua anak terlibat aktif dalam perdagangan seksual, namun banyak diantaranya yang hidup dan bergaul di lingkungan rentan eksploitasi.

Untuk mengatasi permasalahan anak-anak terkait ekploitasi oleh orang dewasa, diperlukan ketajaman untuk memahami dan menemukenali sumber-sumbernya. Permasalahan pada kasus anak yang dilacurkan sebetulnya tak sesederhana kasus prostitusi pada orang dewasa. Salah satu tulisan menyebutkan bahwa permasalahan dasar pada kasus-kasus eksploitasi terhadap anak, khususnya yang berkaitan dengan seksualitas, bukan hanya didasari kebutuhan ekonomi mendasar seperti yang awalnya diakui oleh banyak korban.

Untuk kebutuhan sandang dan pangan, meskipun sederhana, keluarga mereka sudah dapat menghadirkannya. Namun permasalahan sesungguhnya berkaitan langsung dengan kenyamanan di rumahnya (Flower, 2001). Anak-anak yang terjebak dalam kerentanan eksploitasi di lingkungan pergaulannya merupakan anak-anak yang sebelumnya telah menjadi korban di rumahnya. Dari keseluruhan anak yang didampingi oleh KAP Indonesia, 95% diantaranya terjebak dalam situasi rentan yang cukup kompleks, berkaitan dengan kemiskinan di lingkungannya.

Beberapa kondisi yang melatarbelakangi perilaku anak-anak ini kemudian tak cukup mendapatkan perhatian oleh orang-orang terdekatnya. Bahkan, alih-alih memberi perhatian, dalam banyak kasus, orang-orang terdekat di lingkungan tinggalnya justru menjadi aktor utama yang mengawali eksploitasi dan stigma terhadap anak. Kekerasan fisik, verbal hingga oleh orangtua atau orang-orang terdekat lainnya, ketidakmampuan orangtua memenuhi keinginan terhadap hal-hal yang mendukung gaya hidup, ketidakpercayaan orangtua pada anak serta kurangnya perhatian menjadi beberapa hal yang berkelindan dalam cerita dari anak-anak yang didampingi.

Dari hal-hal yang tidak memenuhi kenyamanan tersebut, anak kemudian terstimulasi mencari kenyamanan yang diinginkan di luar lingkungan amannya (Baca: Rumah). Lari dari rumah pada akhirnya merupakan pilihan bagi anak-anak untuk memenuhi kebutuhan ini. Mereka mencari sosok-sosok dewasa lain yang dapat memenuhi hasratnya terkait kenyamanan. Hingga tanpa disadari, mereka malah tereksploitasi oleh pilihannya. Terutama Ketika bertemu dengan teman-teman sebaya atau orang dewasa yang memanfaatkan situasi si anak demi memenuhi hasrat yang juga mereka miliki. Terdapat tulisan menarik dalam buku yang ditulis oleh Flowers (2001: 41-42), yang menyebut bahwa keputusan anak-anak untuk lari dari rumahnya, dapat disebabkan oleh berbagai alasan. Di antaranya, perasaan tidak nyaman, mendapat kekerasan, merasa terancam, merasa tak diinginkan, dan ingin menunjukkan perlawanan. Secara lebih terperinci, anak-anak ini mengalami berbagai hal yang dapat tergambarkan dalam beberapa situasi berikut :

1. Tinggal di lingkungan miskin, menyebabkan mereka merasa banyak keinginannya tak terpenuhi, sehingga mereka lari demi mendapatkan sejumlah materi dari sumber yang beragam. Salah satunya dengan mencari sosok-sosok yang berperan sebagai donor bagi keinginannya. Dari anak-anak, para pendamping dari KAP Indonesia mendapatkan cerita bahwa kisah sedih anak-anak ketika tinggal di lingkungan miskin dapat menjadi senjata bagi mereka untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah atau sejumlah materi dari orang dewasa lain;

Para 'kakak', 'ayah', 'tante', 'bos' atau apapun si anak menyebutnya, seringkali melakukan pertukaran materi dengan pemenuhan hasrat atau kebutuhan mereka. Eksploitasi yang dilakukan juga bisa berupa memberikan pekerjaan pada anak-anak dengan waktu kerja yang tak sesuai dengan perundangan yang berlaku. Dalam pengalaman pendampingan, KAP Indonesia menemukan beberapa anak yang bekerja sebagai PL di tempat karaoke, escort di klub-klub malam, membantu mengedarkan obat-obatan dan lainnya;

2.  Menjadi korban perceraian orangtua atau korban perasaan akibat ketidakhadiran salah satu anggota keluarga yang berperan penting dalam pembentukan karakternya, entah ayah maupun ibunya. Pada kejadian ini, anak seringkali memposisikan diri sebagai korban paling terpuruk. Perasaan marah pada ayah, ibu, atau salah satu sosok yang hilang terkadang tak dapat dilampiaskan sehingga keluar dalam bentuk deviasi atau penyimpangan perilaku. Ketika anak mendapatkan kepuasan semu setelah berperilaku menyimpang dan ada yang membetulkan perilakunya, maka anak akan merasa kembali berharga, namun dengan support system yang salah.

Kendali terhadap perilaku anak sebetulnya dapat saja dilakukan oleh orangtua yang tersisa. Namun dalam beberapa kasus yang didapatkan dari pengalaman pendampingan, anak-anak ini justru merasa orangtua yang tersisa lebih sibuk untuk menenangkan diri sendiri alih-alih memberi perhatian kepada anak yang merasa terkorbankan. Sehingga mereka lebih memilih mencari kenyamanan di luar rumahnya daripada dianggap sebagai sumber permasalahan oleh orangtua yang tersisa.

Di sisi lain, pernikahan orangtua yang tersisa dengan pasangan yang baru juga menghadirkan permasalahan dengan bentuk yang baru. Seperti perasaan tidak diterimanya seorang anak oleh orangtua baru, perasaan anak ketika tidak dimintai pendapat dalam pemilihan pasangan baru, perasaan tidak nyaman hingga terancam akibat kedatangan pasangan baru orangtuanya dan sebagainya;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun