Mohon tunggu...
kaorie dies miyanaganih
kaorie dies miyanaganih Mohon Tunggu... freelancer

Saya adalah seorang penulis pemula yang percaya bahwa kata-kata bisa menjadi alat perubahan. Saat ini saya tengah mempersiapkan diri sebagai calon mahasiswa Fakultas Hukum, dengan semangat untuk memahami dan memperjuangkan keadilan, terutama bagi mereka yang kurang bersuara. Melalui tulisan-tulisan saya, saya ingin mengangkat isu-isu sosial, berbagi pemikiran kritis, dan menginspirasi anak muda untuk lebih peduli terhadap realita di sekitarnya. Menulis bagi saya bukan hanya hobi, tetapi juga bentuk tanggung jawab sosial. Saya percaya bahwa menjadi produktif berarti terus belajar, berbagi, dan bergerak untuk perubahan yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rambut lurus di hari yang hilang

30 Mei 2025   10:12 Diperbarui: 30 Mei 2025   10:12 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagian 1: Sunyi yang Tak Pernah Kembali


Aku masih ingat rambutnya. Lurus, halus, dan harum seperti wangi pagi yang belum tercemar debu. Waktu itu ia masih kecil, terlalu kecil untuk mengerti bahwa ibunya sedang tenggelam dalam perang yang tak terlihat --- perang antara bertahan hidup atau hancur perlahan.

Anakku yang kedua. Yang tidak sempat aku peluk saat dia menangis. Yang air matanya jatuh diam-diam, tanpa bahu. Yang sedang tumbuh --- tanpa aku benar-benar hadir.

Tahun-tahun itu, rasanya seperti kabut tebal. Aku hidup di dalamnya, bergerak, makan, bernapas... tapi tidak benar-benar hadir. Mantan suamiku sibuk dengan egonya, keluarganyapun hanya sibuk berkomentar, dan aku menjadi ibu yang hanya bisa mencintai dalam diam dan doa-doa malam.

Sekarang ia sudah lebih besar. Rambutnya tidak lagi selembut dulu. Pandangannya lebih banyak diam. Seolah ia menyimpan sesuatu, mungkin luka. Mungkin tanya. Mungkin kemarahan yang tak bisa ia ucapkan.

Dan aku --- hanya bisa menatapnya dari balik waktu yang tak bisa kuputar ulang.

Bagian 2: Hari Ketika Aku Ingin Memeluknya Tapi Tak Sanggup

Hari itu hujan turun pelan. Bukan hujan deras yang membasahi bumi, tapi hujan ragu-ragu yang lebih menyentuh hati. Aku berdiri di dekat pintu, memperhatikannya dari kejauhan. Ia duduk di lantai, memeluk lututnya sendiri. Matanya sembab, pipinya basah --- tapi tak ada suara. Hanya diam.

Dan saat itu... aku ingin memeluknya.

Tangan ini sempat terangkat, lalu kembali jatuh di sisi tubuhku. Langkahku maju setengah, lalu berhenti. Ada tembok di antara kami --- bukan tembok rumah, tapi tembok rasa bersalah yang selama ini membungkusku.

Bagaimana bisa aku memeluknya, jika aku bahkan tak tahu bagaimana menjelaskan kepergianku dari hidupnya selama ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun