Bagian 1: Sunyi yang Tak Pernah Kembali
Aku masih ingat rambutnya. Lurus, halus, dan harum seperti wangi pagi yang belum tercemar debu. Waktu itu ia masih kecil, terlalu kecil untuk mengerti bahwa ibunya sedang tenggelam dalam perang yang tak terlihat --- perang antara bertahan hidup atau hancur perlahan.
Anakku yang kedua. Yang tidak sempat aku peluk saat dia menangis. Yang air matanya jatuh diam-diam, tanpa bahu. Yang sedang tumbuh --- tanpa aku benar-benar hadir.
Tahun-tahun itu, rasanya seperti kabut tebal. Aku hidup di dalamnya, bergerak, makan, bernapas... tapi tidak benar-benar hadir. Mantan suamiku sibuk dengan egonya, keluarganyapun hanya sibuk berkomentar, dan aku menjadi ibu yang hanya bisa mencintai dalam diam dan doa-doa malam.
Sekarang ia sudah lebih besar. Rambutnya tidak lagi selembut dulu. Pandangannya lebih banyak diam. Seolah ia menyimpan sesuatu, mungkin luka. Mungkin tanya. Mungkin kemarahan yang tak bisa ia ucapkan.
Dan aku --- hanya bisa menatapnya dari balik waktu yang tak bisa kuputar ulang.
Bagian 2: Hari Ketika Aku Ingin Memeluknya Tapi Tak Sanggup
Hari itu hujan turun pelan. Bukan hujan deras yang membasahi bumi, tapi hujan ragu-ragu yang lebih menyentuh hati. Aku berdiri di dekat pintu, memperhatikannya dari kejauhan. Ia duduk di lantai, memeluk lututnya sendiri. Matanya sembab, pipinya basah --- tapi tak ada suara. Hanya diam.
Dan saat itu... aku ingin memeluknya.
Tangan ini sempat terangkat, lalu kembali jatuh di sisi tubuhku. Langkahku maju setengah, lalu berhenti. Ada tembok di antara kami --- bukan tembok rumah, tapi tembok rasa bersalah yang selama ini membungkusku.
Bagaimana bisa aku memeluknya, jika aku bahkan tak tahu bagaimana menjelaskan kepergianku dari hidupnya selama ini?