Menghadapi Ancaman Monster "Leviathan"Â
"What country can preserve its liberties if their rulers are not warned from time to time that their people preserve the spirit of resistance? Let them take arms."
- Thomas Jefferson
Lantas apa yang perlu dilakukan oleh masyarakat untuk menghadapi tumbuhnya kekuatan yang dimiliki oleh sang Leviathan? Kutipan Thomas Jefferson di atas sebenarnya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bahwa satu-satunya cara untuk mengontrol besarnya kekuatan sang Leviathan adalah jika kekuatan masyarakat juga ikut tumbuh dalam proporsi yang sama. Inilah yang Acemoglu dan Robinson sebut sebagai "efek Sang Putri Merah" atau The Red Queen Effect. Demi menjaga keseimbangan antara kekuatan pemerintah dan masyarakat, serta agar sistem check and balance dalam demokrasi tetap berjalan, maka kekuatan masyarakat dan pemerintah perlu tumbuh sama cepatnya. Ketika kekuatan dan kapasitas sang Leviathan tumbuh secara tidak proporsional, maka diperlukan adanya usaha kolektif dari masyarakat untuk menghasilkan resistensi terhadap pemerintah guna menandingi masifnya kekuatan sang Leviathan. Disinilah pentingnya keberadaan kebebasan pers dan ruang publik untuk mengkritisi para pembuat kebijakan. Ketika sang Leviathan mulai terlena untuk menunjukan sisi bengisnya, pemerintah perlu diingatkan bahwa akan selalu ada kekuatan dari sisi berlawanan yang dapat menggoyahkan kekuasaan mereka (Acemoglu & Robinson, 2020).
Pada akhirnya, sudah sepatutnya ketika kita melihat pemerintah mulai berani berlaku semena-mena terhadap masyarakatnya, diam tak lagi menjadi opsi. Menjadi sebuah keniscayaan bahwa ketika masyarakat memilih diam dan membiarkan sang Leviathan tumbuh sangat besar hingga berani menunjukkan sisi kebengisannya, maka masyarakat akan terjebak dengan apa yang Acemoglu dan Robinson dalam bukunya yang berjudul Why Nations Fail sebut sebagai Extractive Political institution. Alih-alih menggunakan kekuasaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, para petinggi negeri justru lebih memilih menggunakan kekuatan mereka untuk memungkinkan praktik rent-seeking seperti korupsi, lobi-lobi, ataupun patronase bagi para elite guna meningkatkan kekayaan mereka tanpa kontribusi terhadap peningkatan produktivitas negara (Acemoglu & Robinson, 2012). Alhasil, pejabat publik akan terlanjur terlena dan menggunakan kekuasaannya untuk terus-menerus mengeksploitasi rakyatnya (Acemoglu & Robinson, 2020). Pada akhirnya, perekonomian akan terjebak dalam sebuah lingkaran setan (Vicious Circle) dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan, karena akan lebih mudah bagi pengusaha untuk mendapatkan porsi kue perekonomian yang lebih besar melalui pengaruh politik ketimbang berinvestasi (Acemoglu & Robinson, 2012).
Lantas, yang perlu dilakukan oleh masyarakat adalah berteriak lebih keras dalam menghadapi kezaliman yang terpampang jelas di depan mata. Memang, jalan untuk mendapatkan "efek Sang Putri Merah" tidak begitu nyaman, sering kali monster Leviathan melakukan perlawanan ketika menghadapi gertakan dari sisi masyarakat. Namun, berkaca dari peristiwa Tiananmen di Tiongkok pada tahun 1989, ataupun Holocaust yang terjadi di Jerman pada tahun 1930-an, nampaknya wujud despotic Leviathan---sebuah figur pemerintahan yang berani bertindak semena-mena terhadap rakyatnya---masih jauh lebih mengerikan. Tentu, kebengisan pemerintahan Tiongkok di bawah Mao Zedong ataupun Jerman di bawah Hitler tak dapat dibandingkan dengan posisi pemerintahan kita sekarang. Namun, apakah perlu sampai di titik itu agar kita berani meneriakkan kebenaran?
Â
Referensi:
Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2012). Why nations fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty. Profile Books.
Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2020). The narrow corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty. Penguin.