Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seratus Tahun Partai Komunis Tiongkok: Nelangsa di Balik Kebesaran Tirai Bambu

9 Juli 2021   19:10 Diperbarui: 9 Juli 2021   21:49 1870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat hasil yang sukses ini, Mao semakin berani untuk memulai rencana ambisiusnya untuk mengubah Tiongkok menjadi negara industri yang dikenal sebagai Great Leap Forward atau Lonjakan Jauh ke Depan. Program ini memfokuskan produksi seluruh negara ke satu komoditas: besi. Namun, pada kenyataannya, produksi besi membutuhkan bahan baku berupa bijih besi yang jumlahnya terbatas. Hal ini menciptakan kegagalan produksi di berbagai tempat.

Belum lagi, dengan memfokuskan pekerja pada sektor industri, produksi sektor pangan justru menurun drastis. Alhasil, terciptalah kelaparan besar yang menyebabkan kematian setidaknya 55 juta jiwa (Xiguang, 2005) dan menjadikan 400 juta jiwa jatuh ke dalam kemiskinan absolut (Deng, 2000). Rencana 'Lonjakan Jauh ke Depan' malahan menjadi 'Lonjakan Jauh ke Belakang'.

Kegagalan ini menyebabkan Mao kehilangan kekuasaannya. Tetapi, alih-alih menerima kesalahan, untuk menutupi kesalahannya, beberapa tahun kemudian Mao melancarkan tuduhan kepada PKT sendiri bahwa PKT telah diinfiltrasi oleh para kapitalis. Ia lalu mendoktrin pemuda-pemudi untuk menyingkirkan 'kaum pengkhianat' ini dengan kekerasan. Jutaan rakyat tak bersalah, kaum intelektual, agamawan, bahkan anggota PKT sendiri dibunuh atau terbunuh dalam peristiwa yang disebut Revolusi Kebudayaan. Hal ini berlangsung hingga kematian Mao di tahun 1976 sebelum ekonomi Tiongkok mulai memasuki periode liberalisasi.

Liberalisasi Ekonomi

Setelah kematian Mao, PKT di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping menerapkan reformasi ekonomi yang dampaknya terasa hingga hari ini. Kontribusi Tiongkok terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dunia bertumbuh dari hanya 2% pada tahun 1980 menjadi nyaris 19% di tahun 2020. Lantas, bagaimana cara ekonomi Tiongkok menggapai hal ini? Beberapa faktor memainkan peran penting di dalamnya.

Pertama, dengan liberalisasi perekonomian Tiongkok dan dibukanya perdagangan internasional, PKT menjamin hak atas kepemilikan barang individu (property rights) dan mendorong industri dalam negeri memiliki orientasi ekspor. Hal ini memberi insentif kepada masyarakat untuk membuka perusahaan swasta dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) sebagai bentuk usaha baru. Lebih lanjut, pemerintah lokal dan pusat memberi insentif besar-besaran seperti pembebasan pajak, permudahan izin usaha, dan subsidi ekspor.

Kedua, PKT mulai mengurangi campur tangan negara terhadap perekonomian dengan menjual Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengalami kerugian dan perlahan melakukan transisi dari ekonomi komando menjadi ekonomi pasar bebas. Kepemilikan swasta atas berbagai sektor perekonomian juga mulai didorong dengan ditetapkannya berbagai Zona Ekonomi Khusus sebagai pusat industri ekspor dan investasi asing, seperti Shenzhen, Zhuhai, Shantou, dan Xiamen.

Ketiga, karena tanah merupakan milik negara, PKT mengutilisasi kepemilikan mereka atas tanah di seluruh wilayah Tiongkok. Mereka memberi hak kepada pejabat lokal untuk menawarkan sewa jangka panjang yang murah kepada bisnis atau menjual hak sewa dalam jumlah besar kepada pihak pengembang. Sebagai gantinya, para pejabat lokal akan dinilai kinerjanya berdasarkan peningkatan harga tanah di wilayah mereka. Dengan kata lain, semakin mahal harga tanah di wilayah pejabat tersebut, mereka akan dianggap semakin sukses memperkaya negara. Sistem ini menciptakan persaingan di antara para pejabat lokal untuk membangun infrastruktur, jalan layang, hingga sarana publik untuk terus meningkatkan harga tanah di wilayah mereka.

Faktor ketiga mempertemukan kita dengan faktor keempat, yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ironisnya, KKN dan suap dalam Partai Komunis Tiongkok malah menjadi oli pembangunan. Dengan adanya KKN dan suap, proses birokrasi dan perizinan dalam melaksanakan ekspansi bisnis dan pengembangan wilayah menjadi lebih cepat. Pengusaha memiliki kepentingan untuk memuluskan usahanya, sementara pejabat berkepentingan untuk memajukan daerahnya secara cepat. Perpaduan kombinasi inilah yang menyebabkan persekutuan mereka di dalam KKN dan suap justru mempercepat pembangunan.

Faktor terakhir dan terpenting dari strategi pertumbuhan Tiongkok adalah utang. Seluruh aspek pembangunan Tiongkok tentunya tidak akan terlaksana tanpa adanya dana segar. Dana ini datang dari berbagai pihak, entah dari investor asing maupun dana domestik. Selain untuk pembangunan, utang juga digunakan untuk menyuplai dana segar kepada perusahaan-perusahaan eksportir agar daya saing Tiongkok dapat meningkat di level global.

Kombinasi dari kelima faktor ini menyebabkan Tiongkok mampu membebaskan 850 juta penduduknya dari kemiskinan absolut dan menjadikannya ekonomi terbesar kedua di dunia. Meskipun demikian, kesuksesan ekonomi Tirai Bambu bukanlah jasa dari Partai Komunis Tiongkok, terlebih lagi tidaklah seindah narasi yang umum digaungkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun