Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kapitalisasi Data: Haruskah Korporasi Raksasa Membalas Budi?

11 Desember 2020   17:48 Diperbarui: 12 Desember 2020   17:49 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"When the people shall have nothing more to eat, they will eat the rich". Pernyataan Jean-Jacques Rousseau ini berhasil merangkum kekacauan Prancis pada masa pra-revolusi, kaum proletar menderita bencana kelaparan, sedangkan para pedagang memprioritaskan kaum borjuis. 

Masyarakat abad ke-18 mungkin tidak menyangka bahwa bentukan baru kalimat tersebut, "eat the rich", kelak menjadi slogan yang ramai diteriakkan saat demonstrasi dan di unggahan media sosial. 

Ungkapan ini bertransformasi menjadi bentuk protes masyarakat terhadap perilaku power-hungry dari kaum berkantong tebal yang tidak bertanggung jawab dan tidak etis.

Segelintir milyarder dunia dan korporasi besar memang telah membuat diri mereka "pantas" mendapatkan sindiran tersebut. Kasus-kasus mereka seakan membentuk daftar yang tidak kunjung selesai, mulai dari permasalahan ethics kepada pegawai sampai konsumen. Pada era ini, muncul masalah baru, yakni pemanfaatan -bahkan penyalahgunaan- data konsumen. 

Yanis Varoufakis, mantan menteri keuangan Yunani, kemudian mengangkat pertanyaan yang menarik: bagaimana bila korporasi-korporasi tersebut memberi dividen kepada masyarakat yang telah memproduksi kapital dan membawa keuntungan bagi korporasi? 

Konsep yang diusulkannya, universal basic dividend (UBD), serupa dengan pendapatan dasar atau universal basic income (UBI), konsep yang bukan baru. Perbedaannya, UBD didanai oleh korporasi, bukan pemerintah.  Lantas, haruskah korporasi memberi imbalan pada konsumen mereka?

Harta, Tahta, Data

Konsumen adalah aset bagi produsen, bukan hanya target pasar semata. Secara sadar maupun tidak, konsumen menyediakan kapital bagi produsen, yakni data. Bagi korporasi, data konsumen adalah emas karena berperan penting dalam pengambilan keputusan. 

Keputusan yang tepat mampu meningkatkan kepuasan pelanggan, bahkan menarik perhatian konsumen baru, sehingga mengakibatkan pendapatan berkali lipat. Harta menggiurkan ini sampai memicu kasus penyalahgunaan data dari Facebook yang tidak henti-hentinya diliput media.

Kala itu, Facebook memanfaatkan data-data sensitif penggunanya demi mempertahankan posisinya di pasar. Salah satu caranya adalah dengan mengulurkan tangannya untuk bekerja sama dengan beberapa mitra.

Facebook memberikan data sensitif sebagai imbalan pembelian iklan di Facebook, yang menjadi 99% sumber pemasukannya. Amazon, korporasi dunia yang baru saja mencapai aset sebesar $1 triliun tidak menjadi pengecualian dari tindakan yang dicap tidak etis itu. 

Namun, terlepas dari segala keuntungan yang didapatkan dari data konsumen, Facebook dan Amazon tidak pernah memberikan imbalan kepada konsumen atas kapital berharga ini.

Tentu, keuntungan masing-masing korporasi dari data konsumen tidak bisa disamakan. Beberapa korporasi terkenal ditopang oleh data konsumen melalui jasa periklanan yang mereka tawarkan, seperti Google, Facebook, Instagram, Youtube, dan Twitter. 

Marketplace seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada pun tidak luput dari daftar korporasi yang merasakan manfaat signifikan dari data konsumen. Berbekal data, beberapa korporasi bahkan mampu menangkap surplus konsumen yang lebih besar dengan melakukan diskriminasi harga. 

Contoh diskriminasi harga terlihat pada situs penjualan tiket pesawat. Dalam menerapkan kebijakan universal basic dividend, hal-hal seperti ini perlu dipertimbangkan.

Lantas, mengapa Varoufakis memperjuangkan  konsep pendapatan dasar melalui UBD sebagai imbalan korporasi? Padahal, konsep pendapatan dasar "konvensional" (UBI) baru menjalani uji coba di Kanada, Finlandia, dan Skotlandia pada 2017. Bahkan, implementasi UBI mengalami kegagalan di Iran dan Mongolia. 

Kebijakan Bercela

Konsep universal basic income bukan gading yang tak retak. Terdapat paling tidak tiga keluhan atas UBI. Pertama, kebijakan ini berpotensi memicu kemalasan dan keserampahan dalam konsumsi. Kedua, masyarakat kelas atas tidak perlu mendapatkan pendapatan dasar karena pendapatan mereka sudah cukup. 

Ketiga, pelaksanaan pendapatan dasar universal berpotensi besar untuk terhambat karena isu pendanaan. Bareksa mengestimasikan pengeluaran negara untuk UBI akan menelan Rp669,84 triliun tiap tahunnya, yakni hampir 33% dari APBNP 2017.

Mengalokasi dana yang seharusnya dapat digunakan untuk kesehatan, pendidikan dan pembangunan demi pendapatan dasar dianggap sebagai keputusan yang tidak bijaksana bagi banyak orang. Dengan segala kekurangannya, apakah pengorbanan untuk menerapkan UBI sepadan dengan hasilnya?

Merampungkan Kekhawatiran atas Pendapatan Dasar

Terlepas dari segala tantangan yang disodorkannya, pendapatan dasar adalah konsep yang potensial. Menurut IMF (2018), pendapatan dasar adalah uang yang diberikan secara reguler pada seluruh atau sebagian besar populasi  tanpa kondisi tertentu sebagai prasyarat. Pendapatan dasar berperan sebagai safety net; membantu masyarakat bertahan hidup di atas suatu garis kelayakan.

Studi di beberapa negara berkembang menampik bahwa universal basic income berpotensi memicu kemalasan dan keserampahan dalam konsumsi. Banerjee et al. (2016) tidak menemukan perubahan setelah pemberian bantuan tunai, baik dari kecenderungan untuk bekerja maupun dari jumlah jam kerja.

Penelitian Evans dan Popova (2014) tidak menemukan dampak signifikan pada pengeluaran masyarakat untuk alkohol dan tembakau. Bastagli et al. (2016) berhasil membuktikan peningkatan pengeluaran pada antara lain pendidikan, layanan kesehatan, dan gizi. Tidak hanya itu, penelitian ini menunjukkan peningkatan kepemilikan ternak dan investasi pada input agrikultur, mengimplikasi bahwa bantuan tunai justru mendukung kemandirian ekonomi.

Implementasi pendapatan dasar bersyarat menambahkan beban finansial dan emosional. Pemerintah harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk menentukan target penerima dan mendistribusikan uang kepada mereka. 

Padahal, pengeluaran ini dapat dialokasi untuk hal lain. Selain itu, pemberian syarat membebankan masyarakat secara emosional. Mereka harus melewati proses yang rumit untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar miskin.

Usulan universal basic dividend yang disodorkan oleh Varoufakis mampu memadamkan beban yang ditakutkan oleh pemerintah, yakni pendanaan. Dana untuk UBD bersumber dari dividen yang diberikan oleh korporasi, bukan dari pajak dan pengeluaran pemerintah. 

Selama ini, pendapatan dari pemanfaatan data dinikmati secara eksklusif oleh korporasi. Sementara itu, masyarakat, para donatur data, tidak mendapatkan imbalan atas kapital yang diberikan. Meskipun UBD akan kembali pada pemerintah dalam bentuk pajak, pembagian dividen merupakan tanggung jawab moral korporasi.

Asa bagi Pandemi dan Ekonomi

Sampai Oktober 2020, terdapat sekitar 6,4 juta pekerja yang dirumahkan atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Pekerja yang di-PHK tidak dapat berbuat banyak. Sebagian berusaha mencari kerja, tetapi terus menghadapi kesulitan dalam proses pencarian. 

Ada juga mereka yang terpaksa berutang atau hidup dari tabungan. Sebagian mau tidak mau akan kerja serabutan, melakukan segala hal demi mendapatkan pendapatan. Tentu, semua itu diselimuti rasa ketakutan dan ketidakpastian.

Pandemi bukan satu-satunya keadaan yang ditakuti masyarakat. Ketakutan lain yang dihadapi adalah otomatisasi, pemanfaatan mesin dan teknologi yang dapat mengambil alih berbagai jenis pekerjaan.

Apa artinya? Semakin banyak orang akan kehilangan pekerjaan. Menurut laporan yang dirilis McKinsey & Company (2017), diperkirakan ada sekitar 400---800 juta orang yang kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi di tahun 2030. 

Dari otomatisasi, lapangan-lapangan kerja baru memang akan bertumbuh. Namun, otomatisasi menciptakan dunia yang benar-benar baru. Akibatnya, sekitar 75---375 juta pekerja diestimasikan harus berpindah kategori pekerjaan dan mempelajari skill yang baru untuk menyesuaikan diri. 

Pada transisi tersebut, pendapatan dasar berperan penting sebagai jaring pengaman agar masyarakat dapat fokus mencari pekerjaan dan mengembangkan keterampilan.

Terlebih lagi, pendapatan dasar mendatangkan keuntungan bagi negara. Menurut studi dari Roosevelt Institute (2017), pemberlakuan pendapatan dasar dengan menumbuhkan utang federal (tanpa meningkatkan pajak) akan menumbuhkan ekonomi.

Efek ini diestimasikan memudar dalam kurun waktu delapan tahun, tetapi PDB akan lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya secara permanen. Efek ini timbul dari peningkatan permintaan, terutama dari masyarakat kelas menengah ke bawah, yang didorong oleh pemberian pendapatan dasar.

Penulis berargumen bahwa kebijakan ini memungkinkan untuk diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia. Studi di beberapa negara berkembang menampik bahwa kebijakan ini berpotensi memicu kemalasan dan keserampahan dalam konsumsi.  

Banerjee et al. (2016) tidak menemukan perubahan setelah pemberian bantuan tunai, baik dari kecenderungan untuk bekerja maupun dari jumlah jam kerja. Penelitian Evans dan Popova (2014) tidak menemukan dampak signifikan pada pengeluaran masyarakat untuk alkohol dan tembakau. 

Bastagli et al. (2016) berhasil membuktikan peningkatan pengeluaran pada antara lain pendidikan, layanan kesehatan, dan gizi. Tidak hanya itu, penelitian ini menunjukkan peningkatan kepemilikan ternak dan investasi pada input agrikultur, mengimplikasi bahwa bantuan tunai justru mendukung kemandirian ekonomi.

Berdamai dengan Korporasi

Selama ini, masyarakat telah memperkaya berbagai korporasi tanpa mendapatkan imbalan. Korporasi-korporasi tersebut seharusnya menyadari tanggung jawab moral yang mereka miliki untuk membalas budi.

Dengan memberikan imbalan yang pantas, seperti melalui pembagian dividen sebagai pendapatan dasar, konsumen tidak merasa dimanfaatkan. Justru, hubungan mutualisme antara korporasi dan konsumen akan tercipta. Instead of eating the rich, let us have a feast in peace, together. 

Oleh: Amara Beatrice Hosianna Silalahi | Ilmu Ekonomi 2020 | Trainee Kajian Kanopi FEB UI 2020

REFERENSI

  1. Ghatak, Maitreesh. 2017. Combating poverty in developing countries with a universal basic income. Diakses pada tanggal 8 Desember 2020
  1. Lavin, Talia. 2019. How "Eat the Rich" Became the Rallying Cry for the Digital Generation. Diakses pada tanggal 4 Desember 2020 melalui https://www.gq.com/story/eat-the-rich-digital-generation
  1. Solon, Olivia, Cyrus Farivar. Mark Zuckerberg leveraged Facebook user data to fight rivals and help friends, leaked documents show. 2019. Diakses pada tanggal 4 Desember 2020
  1. Varoufakis, Yanis. 2016. The Universal Right to Capital Income. Diakses pada tanggal 8 Desember 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun