Selama beberapa hari media Kompas mengulas secara intens tentang Dana Desa (DD). Dimulai sejak senin (17/02), melalui investigasi terukur, memaparkan satu dekade Dana Desa peluang dan tantangan pengelolaannya. Memotret bagaimana seharusnya Dana Desa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan kemandirian desa.
Pada banyak desa, termasuk di desa tempat tinggal penulis, Dana Desa belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh Masyarakat. Beberapa program seperti kinerja BUMdes yang tidak pernah terpublikasi setelah perombakan pengurus. Begitu pula dengan kinerja badan lainnya seperti Karang Taruna yang kesannya sekadar formalitas belaka.
Lemahnya kontrol terhadap pengelolaan desa menjadi salah satu dari beberapa faktor yang membuat Dana Desa disalahgunakan. Badan/lembaga yang diberi kewenangan untuk mengawasi, tidak menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) secara bertanggung jawab. Seperti nirfungsinya Badan Permusyawaratan Desa dalam pengawasan kinerja Kepala Desa.
Pemerintahan Desa dalam hierarki jabatan politik, merupakan struktur kepemimpinan terbawah. Desa merupakan miniatur negara republik. Kepala Desa sebagai eksekutif diawasi ataupun dievaluasi dalam menjalankan Pemerintahan Desa oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai legislatifnya.
Sesuai Permendagri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Fungsi BPD Bagian Pertama Pasal 31 Â item C menyebutkan BPD melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Ditegaskan kembali pada bagian kedua Tugas BPD Pasal 32 item J dan item K menyebutkan; BPD melaksanakan pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa, melakukan evaluasi laporan keterangan penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Peran vital dari BPD sepatutnya dapat mencegah kebocoran anggaran dari pengelolaan Dana Desa. Memintai keterangan Kepala Desa maupun para stafnya secara berkala dapat dilakukan. Dengan kata lain, BPD mesti cerewet bertanya kepada Kepala Desa. Ada atau tidaknya keluhan/laporan dari masyarakat terhadap pelaksanaan program desa yang didanai dari DD, kontrol BPD wajib dijalankan.
Tanpa bermaksud menggeneralisasi anggota BPD lainnya, di lapangan, cukup banyak anggota BPD yang sekadar rapat saja enggan. Pun kehadiran di kantor desa tergolong minim. Alasan mereka beragam. Ada yang beralasan mengurus sawah ladang. Ada yang mengajar, maupun  beralasan ngantor bagi ASN.
Tersebut terakhir menjadi pemandangan umum di sebuah desa. Anggota BPD bisa merangkap ASN. Hal ini terjadi karena tidak adanya regulasi yang melarang ASN merangkap jadi anggota BPD. Misalnya dalam UU Nomor 3 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Desa, tidak ditemukan adanya larangan ASN merangkap jabatan menjadi anggota BPD.
Tidak adanya aturan yang mengikat, membuat jabatan anggota BPD dipandang sebagai tugas tidak penting. Bagi yang bekerja sebagai petani, peternak, guru, maupun ASN, memilih menjalani pekerjaan utama daripada pergi ke kantor desa. Alhasil pengawasan BPD tidak bisa diharapkan sebagaimana mestinya.
Selain itu, benturan kepentingan juga membuat BPD menjadi tumpul. Misalkan suatu desa anggota BPDnya memiliki hubungan keluarga dengan kepala desa. Menempatkan keluarga atau orang dekat kepala desa menjadi anggota BPD menjadi hal yang kaprah terjadi.