Memang secara aturan tidak ada yang dilanggar. Misalnya merujuk pada Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor 21 Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Desa Pasal 92 ayat 1 dimana anggota BPD dipilih secara demokratis berdasarkan keterwakilan wilayahnya.
Sepintas memang terlihat tidak bermasalah. Namun akan jadi masalah di kemudian hari ketika penunjukan kandidat BPD ditunjuk oleh Kades untuk maju mewakili wilayah/dusun asal Kepala Desa. Ketika proses pengisian, dengan mudah seorang Kades bisa melobi para tokoh masyarakat setempat agar menggolkan kandidat yang direkomendasikannya.
Praktik feodal seperti ini secara tidak langsung menyandera anggota BPD. Ketika seorang Kades melakukan pelanggaran, anggota BPD tidak berani bersuara. Seakan-akan BPD menjadi bawahan Kepala Desa yang harus manut pada Kepala Desa. Alih-alih mengawasi kinerja, ia sendiri disetir oleh Kades.
Karena itu, perlu kiranya peran BPD benar-benar dioptimalkan. Menempatkan orang yang kompeten untuk duduk di BPD. Minimal seorang BPD paham seluk beluk pemerintahan desa. Memahami tugas dan kewajiban BPD, sehingga pengawasan terkait pengelolaan DD bisa berjalan dengan baik.
Beberapa langkah dapat ditempuh mengoptimalkan peran BPD agar pengawasan Dana Desa bisa lebih efektif. Pertama, perlu dibuat regulasi (Perda/Perbup) yang khusus mensyaratkan kompetensi BPD. Semisal seorang kandidat BPD harus punya pengalaman sebagai Kepala Dusun/Kepala Kewilayahan dan  atau punya pengalaman berorganisasi.
Kedua, regulasi yang dimaksud sepatutnya mengatur anggota BPD tidak merangkap jabatan. Jika terpilih sebagai anggota BPD, seorang harus mundur/cuti dari pekerjaan sebelum menjabat anggota BPD. Aturan ini menjadi vital, mengingat besarnya uang negara yang dikelola oleh kepala desa.
Ketiga, perlu adanya tes wawasan seputar pemerintahan desa bagi calon anggota BPD. Â Beberapa poin tes hendaknya berhubungan dengan dana desa. Mulai dari dasar hukum serta petunjuk teknis pengelolaannya bisa dimasukkan ke dalam butir tes.
Tidak kalah penting dari semua tahapan ini anggota BPD perlu menyosialisaikan Dana Desa paling tidak kepada konstituen (keterwakilan wilayah/dusun). Sosialisasi ini tidak hanya dilakukan pada periode awal menjabat melainkan harus dilakukan rutin.
Dari sosialisasi rutin ini lambat laun membuka ruang dialog bagi masyarakat. Adanya dialog diharap mampu menerabas sekat-sekat antarmasyarakat. Masyarakat yang semula segan bersuara, dengan adanya ruang urun rembuk masyarakat menjadi lebih terbuka. Atas upaya ini penggalian aspirasi masyarakat menjadi tepat guna.
Langkah tersebut menjadi relevan melihat fakta di lapangan BPD cenderung pasif menggali aspirasi masyarakat. Mereka hanya menunggu laporan di sekretariat BPD. Kesan yang kemudian muncul, anggota BPD hanya menanti overan bola, tetapi tidak proaktif menjemput bola aspirasi ke tengah masyarakat.
Pasifnya anggota BPD sebagai akibat gagal memahami Permendagri Nomor 110 Tahun 2016 pasal 33 dan 34. Anggota BPD pasif mencari pembenaran hanya dengan pasal 34 ayat 1 yang tersurat menyebut menampung aspirasi masyarakat dilakukan di sekretariat BPD. Â Tetapi abai pada pasal 33 ayat 2 yang cukup implisit menerangkan bahwa anggota BPD mesti turun langsung ke masyarakat.