Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Esensi Idul Adha, Napak Tilas Jejak Sabar Keluarga Nabi Ibrahim As

29 Juli 2020   01:16 Diperbarui: 29 Juli 2020   08:14 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampai di sini kita bisa memandang bahwa seluruh umat manusia adalah bersaudara. Tidak semestinya saling bertentangan. Sebaliknya justru harus saling bergandengan tangan.

Ketika Nabi Ibrahim AS membawa Hajar dan bayi Ismail pindah dari Palestina ke Mekkah, dan meninggalkan mereka berdua di tengah padang pasir yang tandus, Hajar kembali menjalani sabar, menjalani hidup yang sangat tidak mudah. Seorang diri merawat bayi di tengah padang pasir yang tandus. 

Ia berlari-lari kecil bolak-balik sebanysk 7 kali antara Bukit Shofa dan Marwa untuk mencari sumber air. Hajar dan Ismail juga menjalani sabar ketika melawan godaan setan yang menyebarkan fitnah bahwa Nabi Ibrahim membenci Hajar dan Ismail sehingga membuang mereka berdua di tengah padang pasir yang tandus itu. 

Kedua hal itu kemudian diabadikan sebagai bagian dari rukun haji dalam prosesi ibadah haji, berupa Sa'i dan Melempar Jumrah.

Puncak kesabaran terjadi ketika Alloh SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih Ismail yang sedang beranjak remaja. Adalah sangat manusiawi ketika Nabi Ibrahim sempat galau dan ragu. Puluhan tahun dia menantikan keturunan, kini setelah anak yang dinanti-nanti itu ia peroleh, ia harus menyembelihnya. 

Dengan kesabarannya Ismail meminta Nabi Ibrahim AS untuk tidak ragu melaksanakan perintah Alloh SWT, untuk menyembelih dirinya.

Perihal kesabaran Nabi Ismail itu termaktub dalam Al Qur'an Surat AS-SAFFAT  ayat 100 -111


Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.”

Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail).

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah).

Lalu Kami panggil dia, Wahai Ibrahim ! sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.

Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian,
”Selamat sejahtera bagi Ibrahim.”

Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik
Sungguh, dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

Peristiwa penyembelihan Ismail, yang kemudian diganti oleh Alloh SWT dengan seekor hewan sembelihan, kemudian diabadikan sebagai ritual qurban pada perayaan Idul Adha.

Prosesi ibadah haji adalah napak tilas jejak kesabaran Ibrahim, Hajar dan Ismail. Maka tanpa sabar, ibadah haji adalah kesia-siaan. Setan tidak akan pernah berdiam diri, terus menggoda agar sabar hilang dari nafas ibadah haji. Sehingga tidak heran keruwetan senantiasa mewarnai penyelenggaraan dan pelaksanaan ibadah haji. 

Politisasi isu penyalahgunaan dana haji yang dikelola pemerintah misalnya, adalah contoh nyata dari hal itu. Musibah Terowongan Mina yang terjadi beberapa tahun yang lalu, kekisruhan yang senantiasa mewarnai ritual melempar jumrah, pertengkaran hebat dari sepasang suami istri atau di antara sesama jemaah haji, adalah contoh lain dari hilangnya sabar dalam pelaksanaan ibadah haji.

Dengan memahami bahwa prosesi ibadah haji adalah napak tilas kesabaran dari Nabi Ibrahim, Hajar dan Nabi Ismail, maka diksi haji mabrur tidak akan lagi dimaknai secara salah kaprah. Haji mabrur, bukanlah predikat yang diperoleh dari ibadah haji semata. Haji mabrur harus dimaknai sebagai cermin takwa yang sejatinya harus diperjuangkan oleh seluruh umat Islam sepanjang hayat dikandung badan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun