Mohon tunggu...
teteh chatay pasific...
teteh chatay pasific... Mohon Tunggu... Travailler comme secrétaire chez Cathay Pacific.

Troisième au concours de mangeurs de krupuk, titre de "subRegional Star" à Magic Chess Go Go, troisième à la course de 100 mètres de Java Est.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepatu ...

4 Oktober 2025   16:51 Diperbarui: 4 Oktober 2025   16:51 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Sepatu Kanvas di Lapangan Merah"


Raka menatap sepatu kanvasnya yang sudah usang, kini penuh debu merah dari lapangan sekolah. Di sebelahnya, Dira tersenyum lebar sambil memamerkan sepatu lari terbarunya yang mengkilap.
"Latihan hari ini mematikan, tapi aku yakin kita bisa lolos seleksi tim Basket Provinsi, Ka," kata Dira, menyeka keringat.
Raka hanya mengangguk pelan. Impian mereka sejak SMP sama: menjadi pemain basket profesional. Namun, Dira punya segalanya---fisik prima, dukungan dana tak terbatas dari orang tua untuk pelatih privat terbaik, dan sepatu impor terbaru yang memberinya pijakan sempurna. Sementara Raka hanya mengandalkan bakat alam, beasiswa, dan sepatu kanvas butut yang solnya mulai menganga.
Suatu hari, pelatih mengumumkan bahwa hanya dua nama yang akan dikirim ke seleksi tingkat provinsi. Raka dan Dira.
"Hebat, Ra! Kita berhasil!" seru Dira, merangkul Raka.
Tapi kebahagiaan itu hanya bertahan sesaat.
Saat sesi latihan intensif seminggu sebelum seleksi, Dira mulai bersikap aneh. Ia sering terlambat, melewatkan latihan beban, dan beberapa kali membiarkan Raka kalah dalam latihan tanding.
"Kenapa, Dir? Kamu sakit?" tanya Raka khawatir.
Dira menggeleng. "Enggak, Ka. Cuma... sedikit lelah saja. Lagipula, kamu kan sudah pasti lolos. Kamu yang paling jago di antara kita."
Perkataan Dira terasa seperti pujian, tapi Raka merasakan ada yang janggal. Ia tahu Dira jauh lebih ambisius. Malamnya, Raka melihat unggahan Insta Story Dira. Dira sedang duduk di studio musik, memegang gitar akustik, ditemani seorang produser musik terkenal. Keterangan fotonya: "Mimpi lama yang kembali terwujud. Basketball is cool, but music is soul."
Keesokan harinya, Raka menyeret Dira ke belakang gudang peralatan olahraga.
"Kenapa kamu bohong, Dir? Kamu mau berhenti basket?" tanya Raka, nada suaranya tertahan.
Dira menghela napas berat. "Aku enggak bohong, Ka. Aku cuma... berubah pikiran. Aku tahu impian orang tuaku adalah aku jadi atlet, tapi akhir-akhir ini aku sadar kalau musik adalah jalan hidupku. Rasanya lebih menyenangkan."
"Tapi kamu sudah mengorbankan segalanya untuk ini selama bertahun-tahun!" Raka frustrasi. "Dan kenapa kamu bilang aku sudah pasti lolos? Kamu meremehkan usahaku?"
"Justru karena aku enggak mau merusak kesempatanmu, Ka!" Dira meninggikan suara. "Aku lihat kamu setiap hari, kamu rela kerja paruh waktu buat beli vitamin, kamu bangun jam 4 pagi buat lari. Kamu lebih pantas lolos. Kalau aku ikut seleksi, aku cuma membuang-buang tempat yang bisa dipakai oleh orang yang benar-benar berkomitmen."
Raka terdiam. Persahabatan mereka diuji oleh dua hal: kejujuran yang pahit, dan perbedaan jalur impian.
"Aku minta maaf aku tidak bilang dari awal," kata Dira, menunduk. "Tapi aku akan pastikan kamu yang lolos. Fokus saja pada seleksi. Aku akan datang sebagai penonton, dan aku akan jadi orang pertama yang berteriak saat kamu memasukkan bola."
Raka menatap Dira, lalu ke sepatu kanvasnya yang bersol tipis. Ia menghela napas, lantas tersenyum tipis.
"Baiklah, Dir. Tapi setelah seleksi ini, kamu janji harus benar-benar serius dengan gitarmu. Karena kalau sampai nanti kamu jadi musisi gagal, aku akan jadi orang pertama yang melempar sepatu bututku ini ke atas panggungmu."
Dira tertawa lega. Raka akhirnya mengerti. Bukan sepatu baru yang membuat seseorang menjadi hebat, melainkan komitmen pada jalur yang dipilih.
Pada hari seleksi, Raka tampil memukau. Di tribun, Dira, dengan gitarnya, memberikan kode persahabatan setiap Raka mencetak angka.
Meskipun jalur impian mereka kini berbeda---satu di lapangan merah, satu di panggung berlampu---mereka tahu, ikatan persahabatan mereka akan selalu menjadi motivasi terkuat untuk berlari kencang.

2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun