Senja di Tepi Jendela
Lana tidak pernah percaya pada takdir, sampai ia bertemu Dewa. Pertemuan mereka bukan di kafe mewah atau perpustakaan sunyi, melainkan di lantai 12 sebuah rumah sakit tua. Lana, seorang arsitek yang kaku dengan jadwalnya, datang menjenguk ibunya. Dewa, seorang fotografer freelance dengan tawa sehangat matahari, sedang menemani kakeknya.
Dinding di sebelah kamar kakek Dewa adalah jendela besar yang menghadap langsung ke barat, tempat matahari selalu menutup hari dengan lukisan oranye dan ungu. Lana sering duduk di sana, menyusun rencana renovasi di atas sketchbook-nya, mencari ketenangan dari bau antiseptik yang menusuk.
Suatu sore, saat Lana tenggelam dalam pikirannya, sebuah suara renyah memecah keheningan. "Warna apa yang paling cocok untuk senja hari ini, Nona?"
Lana mendongak. Di sebelahnya, Dewa duduk santai dengan kamera tua di tangannya, matanya memantulkan cahaya senja.
"Mungkin kuning keemasan," jawab Lana singkat, mencoba kembali fokus pada pekerjaannya.
Dewa tersenyum lebar. "Aku rasa merah anggur dengan sedikit biru kusam di tepinya. Lebih dramatis, seperti akhir yang tak terhindarkan tapi indah."
Sejak hari itu, senja menjadi ritual mereka. Lana akan membawa kopi instan, dan Dewa akan membawa cerita tentang petualangannya menangkap cahaya di berbagai sudut kota. Lana, yang selama ini hanya melihat hidup dalam garis lurus dan perhitungan, mulai melihat warna dan blur dalam hidup Dewa. Dewa, sebaliknya, menemukan bahwa di balik kacamata dan sikap serius Lana, ada kerentanan dan mimpi yang tersembunyi.
Satu bulan berlalu. Suatu malam, di bawah rembulan yang tersangkut di balik awan, Lana memberanikan diri.
"Aku... aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini. Aku sudah lama tidak merasakan hal ini," ujar Lana, suaranya tercekat.
Dewa meletakkan kameranya. "Aku tahu, Lana. Aku merasakannya sejak hari pertama kau bilang senja itu kuning keemasan. Kau orang yang melihat keindahan dengan cara yang lugas, dan itu memikat."
Dia meraih tangan Lana, jemarinya yang hangat dan sedikit kasar karena sering memegang lensa. "Aku juga tidak percaya takdir. Tapi kalau takdir itu adalah alasan kenapa kita bertemu di tempat yang seharusnya menyedihkan ini, dan kau malah membuatku merasa ini adalah tempat terbaik di dunia, maka aku akan menerimanya."
Tawa Dewa adalah melodi yang Lana tidak pernah tahu ia butuhkan. Mereka berbagi ciuman pertama di sana, di tepi jendela, dengan aroma rumah sakit dan janji senja yang akan mereka lihat bersama-sama.
Ketika kesehatan orang tua mereka membaik dan tiba saatnya meninggalkan rumah sakit, Lana merasa sedikit takut. Hubungan mereka, seperti senja, dimulai di antara batas-batas. Bagaimana jika di dunia luar, yang penuh kebisingan dan realitas, hubungan mereka akan pudar?
Di hari kepulangan ibunya, Dewa menunggu di lobi. Dia tidak membawa bunga atau hadiah. Dia hanya membawa satu hal: sebuah bingkai foto berukuran besar.
Di dalamnya ada foto jendela rumah sakit itu, diambil dari sudut yang biasa mereka duduki. Tapi fotonya bukan tentang jendela, melainkan tentang senja yang mereka diskusikan: perpaduan dramatis merah anggur dan biru kusam yang disinari sebuah cahaya kecil, seperti titik harapan.
"Ini adalah janji," kata Dewa, menyerahkan bingkai itu. "Di mana pun kita berada, dan apa pun tantangannya, kita akan selalu punya tempat kembali. Tempat di mana kita berdua tahu, kita menemukan sesuatu yang nyata."
Lana tersenyum, air matanya menetes. Dia tahu. Cinta mereka mungkin tidak dimulai di taman bunga, tapi di tepi jendela, tempat mereka belajar bahwa bahkan akhir dari sebuah hari bisa menjadi awal dari kisah yang paling indah.
2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI