Persembahan Terakhir
Pria tua itu, yang mengaku sebagai penjaga sebelum nenek Risa, menunjuk ke tanah kosong di hadapan mereka.
"Pintu Loteng yang kau kunci dan buka adalah sebuah pintu di dimensi yang salah. Pintu Loteng yang asli ada di bawah sini," bisik pria itu, suaranya dipenuhi rasa lelah bertahun-tahun. "Ia adalah jantung penjara."
"Apa maksudmu dipersembahkan?" tanya Risa, menggenggam kunci di sakunya erat-erat. Ia tak lagi merasa takut, hanya tekad yang membara untuk mengakhiri siklus ini.
"Kunci itu tidak bisa dihancurkan karena ia bukan hanya logam, ia adalah memori dan janji. Untuk mengakhiri siklus, kunci harus dikembalikan ke tempat ia diciptakan. Dipersembahkan kembali ke Pintu Loteng, agar ia bisa menelan kunci itu dan segala yang dikunci dengannya."
"Dan apa yang akan terjadi padaku?"
Pria tua itu menatap Risa dengan tatapan mata yang penuh penyesalan. "Setiap persembahan membutuhkan harga. Jika kau mengembalikan kunci itu, kau akan memutus rantai. Tapi, Pintu Loteng itu akan menuntut kunci terakhirnya---sepotong dari dirimu."
"Apa maksudmu sepotong dari diriku?"
"Nenekmu mengorbankan tubuhnya untuk menjadi kunci hidup. Nenek buyutmu mengorbankan rumahnya. Kau harus mengorbankan... ingatanmu. Kau akan melupakan kunci itu, rumah itu, dan semua yang terjadi. Kau akan bebas, tetapi kau tidak akan pernah tahu mengapa kau bebas."
Risa melihat ke bawah, memikirkan kenangan buruk malam di rumah neneknya---makhluk-makhluk, air asin, raungan neneknya. Jika melupakan semua itu adalah harga kebebasan... itu adalah harga yang pantas ia bayar.
"Bagaimana cara melakukannya?"
Pria tua itu tidak menjawab, ia hanya mencondongkan tubuh ke depan dan berbisik, "Tutup matamu dan masukkan kunci itu ke tanah tepat di tempat kita berdiri. Kunci akan menemukan jalannya."
Risa mengangguk. Ia memejamkan mata, memegang kunci kuno yang baru itu. Ia merasakan dinginnya tanah di bawah kakinya.
Dengan napas terakhir, ia mendorong kunci itu lurus ke bawah, menembus lapisan tanah.
Tiba-tiba, ia merasakan tarikan yang kuat, bukan pada tangannya, melainkan pada kepalanya. Sebuah sensasi seperti air dingin yang menyerap semua pikiran dan kenangan.
Ia mendengar suara gerendel kuno berputar di bawah tanah, diikuti oleh suara mendesis yang panjang, seolah-olah sesuatu yang besar dan lapar baru saja menutup mulut.
Risa merasakan kehangatan di dadanya, dan kemudian, kosong.
Ia membuka mata.
Pagi yang Biasa
Risa berdiri di sebuah lapangan kosong. Matahari sudah bersinar terang.
Mengapa aku di sini? pikirnya. Aku sedang mencari apa?
Ia melihat ke bawah. Tangannya kosong. Di saku jaketnya, ia menemukan selembar kertas---daftar belanjaan yang biasa ia buat untuk ibunya.
Ia menghela napas. "Astaga, aku pasti lupa. Aku harus cepat ke pasar."
Risa berbalik, berjalan menuju jalan raya. Ia merasa sedikit pusing, dan ada rasa aneh di punggungnya, seperti... seperti ada sesuatu yang hilang, tetapi ia tidak tahu apa itu.
Ia tidak ingat pernah punya nenek yang tinggal di pinggiran kota. Ia tidak ingat pernah melihat rumah tua yang aneh. Ia tidak ingat ada pria tua di lapangan. Semua itu telah hilang, dipersembahkan ke Pintu Loteng.
Saat ia berjalan pergi, di tanah tempat ia berdiri, sebuah retakan tipis muncul. Retakan itu memanjang, lalu berhenti, seolah-olah ada energi yang tertahan.
Di tepi retakan itu, sebuah bola mata besar berwarna kuning seukuran kelereng perlahan muncul dari dalam tanah, menatap sekeliling. Ia berkedip sekali, lalu ditarik kembali ke bawah.
Pintu Loteng telah ditutup. Kunci telah dikorbankan.
Tetapi, meskipun Risa telah melupakan, sesuatu di dalam penjara itu tahu bahwa Sang Pengunci terakhir telah pergi. Dan ia hanya perlu menunggu sampai Kunci berikutnya, entah dalam bentuk logam, darah, atau ingatan, muncul kembali di dunia.
Risa telah memenangkan kebebasan, tetapi Kunci Abadi tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya menunggu untuk dibentuk kembali.
Tamat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI