UNESCO, begitu nama yang tak asing lagi di telingaku, kini menjadi markas baruku. Gedung tua nan megah di jantung kota Paris, tempat di mana sejarah dan masa depan berjalin erat. Setiap pagi, aku melangkah masuk melalui pintu putar yang berderit pelan, disambut aroma buku-buku lama dan kertas-kertas baru. Di sini, aku ditemani oleh melodi-melodi klasik yang tak lekang dimakan waktu: "wet-wet wet" yang mengalunkan "Love is All Around", "When You Say Nothing at All" milik Ronan Keating, "Lost in Your Eyes" dari Debbie Gibson, dan "That's Why You Go Away" dari Michael Learns to Rock. Lagu-lagu itu seperti soundtrack kehidupan baruku di sini.
Tugasku berada di divisi "kesetaraan gender", sebuah departemen yang penuh dengan semangat dan idealisme. Aku bekerja dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia, masing-masing membawa cerita dan perjuangan mereka sendiri. Ada Amlie dari Prancis yang selalu bersemangat, Kenji dari Jepang yang teliti, dan Fatima dari Maroko yang penuh kehangatan. Kami semua memiliki satu tujuan: memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang gender, memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.
Tentu saja, Paris bukan hanya tentang pekerjaan. Di akhir pekan, aku sering menghabiskan waktu dengan Gung Mas, teman seperjuangan dari Indonesia. Gung Mas, dengan senyum khasnya yang selalu tulus, sering mengajakku menjelajahi sudut-sudut kota yang jarang dikunjungi turis. Kami menyusuri gang-gang kecil di Le Marais, menikmati kopi panas di kafe-kafe pinggir jalan, atau sekadar duduk-duduk di tepi Sungai Seine sambil memandang menara Eiffel yang berkilauan di malam hari.
Pernah suatu sore, Gung Mas mengajakku ke sebuah toko buku tua yang tersembunyi. Di sana, di antara tumpukan buku-buku berbahasa Prancis yang berdebu, kami menemukan sebuah album vinil bekas. Sampulnya sudah lusuh, tapi kami mengenali wajah-wajah band di sana: Michael Learns to Rock. Tanpa ragu, kami membelinya. Di apartemenku yang mungil, kami memutar piringan hitam itu. Suara serak dan hangat dari vinil itu memenuhi ruangan, membawa kami kembali ke masa remaja di Indonesia, di mana lagu-lagu mereka menjadi teman setia.
Hidup di Paris, bekerja di UNESCO, dan ditemani oleh Gung Mas serta lagu-lagu nostalgia, aku merasa seperti berada di tempat yang tepat. Di sini, aku tidak hanya bekerja untuk sebuah misi mulia, tapi juga menemukan diriku sendiri, selembar demi selembar, di antara melodi-melodi indah dan persahabatan yang tulus. Setiap hari adalah sebuah petualangan baru, sebuah babak baru dalam cerita hidupku, yang dimulai dengan langkah-langkah kecil di kota yang penuh cinta ini.
2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI