Mohon tunggu...
mbak_google
mbak_google Mohon Tunggu... kerja di Chatay Pasific aja...

------

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Warna-warni

4 September 2025   02:00 Diperbarui: 4 September 2025   02:00 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angin senja mengembuskan aroma tanah basah dan kenangan. Di beranda rumah tua itu, Kakek Hasan duduk memandang langit jingga. Tangannya yang keriput menggenggam sebuah buku bersampul lusuh. Itu bukan buku biasa, melainkan buku harian yang ditulis oleh mendiang istrinya, Nenek Siti.
Nenek Siti adalah seniman lukis. Rumah mereka penuh dengan lukisan pemandangan, potret diri, dan bunga-bunga yang seolah hidup. Kakek Hasan masih ingat, setiap kali melukis, Nenek Siti akan bercerita tentang warna. "Merah itu keberanian," katanya, "Biru itu ketenangan, dan kuning itu kebahagiaan."
Namun, di hari Nenek Siti pergi, dunia Kakek Hasan seakan kehilangan warnanya. Lukisan-lukisan itu kini terasa hampa. Merah tidak lagi berani, biru tidak lagi menenangkan, dan kuning tidak lagi bahagia. Ia hidup dalam monokrom, hanya ada abu-abu dan kenangan.
Suatu hari, cucunya, Maya, datang berkunjung. Maya melihat lukisan bunga matahari yang belum selesai di atas kanvas. Ada beberapa bagian yang masih putih, kosong. "Kenapa ini belum selesai, Kek?" tanya Maya.
Kakek Hasan menghela napas. "Nenekmu belum sempat menyelesaikannya," jawabnya pelan. "Dia bilang, dia ingin menambahkan warna yang paling spesial, tapi dia belum menemukannya."
Maya mengambil kuas dan beberapa cat. "Mungkin warnanya bukan ada di cat, Kek," katanya. Ia mulai mencampur warna kuning dan biru, menghasilkan warna hijau cerah. Lalu, dengan hati-hati ia mengoleskannya pada bagian daun yang kosong. "Nenek bilang, hijau itu kehidupan dan harapan. Mungkin itu yang Nenek cari."
Kakek Hasan terpaku. Dia melihat bagaimana Maya melanjutkan melukis. Gadis kecil itu mencampur warna-warna lain, merah dan biru untuk ungu, lalu merah dan kuning untuk oranye. Setiap sapuan kuas Maya seperti menghidupkan kembali kanvas yang mati.
Saat Maya selesai, lukisan bunga matahari itu tampak berbeda. Bukan hanya karena warna yang terisi penuh, tapi juga karena ada sentuhan ceria dan polos yang tidak dimiliki lukisan Nenek Siti sebelumnya.
Kakek Hasan menatap lukisan itu, lalu memandang Maya yang tersenyum cerah. Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu. Sepercik cahaya kembali muncul di hatinya. Kuning bunga matahari itu kini terasa hangat, merahnya terasa penuh cinta, dan birunya terasa damai. Dunia monokromnya perlahan mulai terisi kembali dengan warna.
Ia sadar, Nenek Siti tidak meninggalkan dunia ini tanpa warna. Sebaliknya, Nenek Siti meninggalkan sebuah warisan yang jauh lebih berharga: sebuah kanvas yang menunggu untuk diselesaikan, dan seorang cucu yang membawa kembali semua warnanya. Kakek Hasan mengambil kuas, mencelupkannya ke dalam cat, dan mulai melukis di samping Maya. Di dalam hatinya, ia tersenyum, Nenek Siti pasti sangat bahagia melihatnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun