Mohon tunggu...
Jaja Zarkasyi
Jaja Zarkasyi Mohon Tunggu... Penulis - Saya suka jalan-jalan, menulis dan minum teh

Traveller, penulis dan editor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jalan Pulang untuk Farah (Bag. II)

17 Juni 2019   15:56 Diperbarui: 17 Juni 2019   16:57 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki (Masih) Bayangan

Matahari baru saja menampakkan cahanya, menyapa Kota Bandung yang dari semalam nampak murung. Malam minggu biasanya ramai dengan hilir mudik para remaja, juga sebagian orang tua. Namun entah mengapa tadi malam tak nampak keseruan malam minggu yang seperti biasanya.

Farah baru saja terbangun. Matanya masih nampak kusut, terasa berat untuk dibuka. Sesekali ia hempaskan badannya di atas kasur.

"Aku masih ngantuk, wi."

Hanya itu yang terdengar dari mulutnya. Dan ia kembali memejamkan matanya. Di atas kasur, pagi itu terasa sangat berat untuk dijalani.

Malam tadi adalah malam kelabu bagi Farah.

Enam bulan yang lalu ia baru saja menemukan harapan untuk pulang di kehidupan normalnya. Rasa jenuh yang hampir membunuhnya, tiba-tiba menemukan momentumnya untuk berhijrah.

"Ini saatnya untuk kamu hijrah"

"Farah, kamu masih terlalu muda. Hijrahlah sekarang juga"

"Tuhan telah menujukkanmu jalan hijrah. Jangan kau sia-siakan!"

Begitulah selalu terdengar nasihat dari para senior yang usianya hampir menyentuh kepala 3.

"Mba sendiri, kenapa belum hijrah? Kenapa pula menyuruhku hijrah?"

"Kami ini sudah terlanjur rusak. Sementara kamu masih sangat panjang masa depannya."

"Bagaimana saya bisa hijrah kalau mba sendiri nggak berhijrah"

"Farah, dunia ini bukan untukmu. Kamu hanya korban dari situasi. Bergegaslah merapihkan jalan hidupmu. Biarkan kami yang mengisi kegelapan yang akan kau tinggalkan"

"Apa karena merasa para pelanggan mba berkurang lalu menyuruhku berhijrah?"

"Rizki sudah ada yang ngatur. Kami tak merasa tersaingi. Sudahlah, di luar sana ada banyak laki-laki baik. Pasrahkan pada takdirnya, jangan membantah!"

Berjalan gontai awalnya, Farah beranjak dari takdirnya yang gelap. Menyusuri jalanan Kota Bandung, tekadnya bulat untuk berhijrah: kembali di kehidupan normal. Kehidupan yang memberinya satu cinta untuk satu laki-laki. Kehidupan yang menyandarkannya hanya pada satu cinta.

Terbesit niat untuk berkata jujur kepada kedua orang tuasnya tentang dunia yang selama ini sembunyikan. Tapi lagi-lagi ia batalkan, tak ingin ia menyakiti perasaan ayah dan ibunya.

Bagaimana jika aku benar-benar berjumpa dengan lelaki baik seperti yang diceritakan mereka? Apakah harus kujelaskan siapa aku sebelumnya. Atau biarkan waktu mengubur masa laluku tanpa harus kujelaskan kepada lelaki baik itu.

"Jika memberi tahu masa lalumu membuat jalan kebaikanmu terputus, maka biarkan kebaikan-kebaikan yang kamu lakukan menguburnya dalam-dalam, tanpa perlu orang lain tahu"

"Jika lelaki baik itu benar-benar ikhlas mengenalmu, ia takkan bertanya sehitam apakah masa lalumu."

"Betul, farah. Kamu tak usah risau, tubuhmu hanya pinjaman. Hakikat kebaikan itu ada dalam hati dan jalan kebaikan yang kau pilih"

Tak terhitung belasan nasihat terus menguatkan jalan hijrahku. Mereka kadang menelpon, kadang pula mengirimnya via WA. Setidaknya sampai di titik ini rencanaku didukung banyak pihak.

Hingga akhirnya, di setengah perjalanan hijrahku kutemui laki-laki baik yang sering diceritakan itu. Namanya Rana. Badannya tinggi dan kulitnya putih, ia sangat sopan memperlakukanku. Kami bertemu di FB, meski dia yang pertama mengajakku berkenalan.

"Farah, aku mengenalmu tulus. Percayalah!"

"Bagaimana kamu bisa meyakinkanku bahwa ketulusan itu benar-benar akan berwujud di kehdiupan nyata?"

"Kamu tidak perlu banyak bertanya tentang ketulusanku. Cukup kamu nilai apakah aku serius atau main-main"

"Aku hanya takut menjadi pelarianmu saja"

"Bagaimana kamu bisa menilaku seperti itu?"

"Banyak cerita tentang laki-laki yang awalnya baik, pada akhirnya pergi begitu saja. Kadang tanpa pamit"

"Itu hanya dalam cerita saja. Aku berbeda dengan mereka. Karena aku sangat nyaman mengenalmu, farah"

"Bagaimana kamu akan mengajariku tentang kebaikan?"

"Kebaikan? aku tak perlu mengajarimu, aku hanya cukup meyakinkanmu di jalan kebaikan itu"

"Tapi aku masih labil. Belum yakin dengan jalan kebaikan ini"

"Karena inilah aku ada untukmu. Untuk meyakinkan jalan kebaikanmu saat ini"

"Seberapa kuat kamu akan menjadi pendampingku?"

"Sekuat niatmu menjadi baik"

"Benarkah?"

"Tidak ada cinta yang sempurna. Yang ada hanyalah ketulusan menjadi yang terbaik untuk pasangan kita"

Kadang kuberfikir Rana terlalu baik untukku. Tak pantas ia mendapatkan wanita dengan masa lalu hitam sepertiku.

"Seharusnya ia mendapatkan gadis suci"

Dan di titik ini aku merasa tak layak menjadi pendamping hidupya. Apalagi aku tak lagi sendiri, ada seorang anak di kehidupanku.

Rana sering mengajaku jalan-jalan, dan selalu ada tema baru yang ia diskusikan. Ia berbeda dengan laki-laki lainnya. Tak hanya mahir menggobal, namun juga pintar memotivasiku.

Harapan itu perlahan mulai membumbung, tak seperti biasanya. Rasanya semakin dekat dengan jalan pulang yang diceritakan temen-temen waktu itu. Benar saja, di luar ada banyak pilihan laki-laki baik. Mungkin karena selama ini aku mengurung diri makanya tak tahu keberadaannya.

Aku begitu semangat memperbaiki segalanya. Mulai dari niat, mental hingga penampilan. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, belum tentu datang dua kali. Setiap kali kami bertemu, selalu saja tumbuh satu harapan dan cita-cita baru, di samping rencana kehidupan yang sangat menyemangatiku.

Aku teringat nasihat Rina, sahabat yang telah lama bersamaku dan kini  hidupan bersama pilihan hatinya, bahwa hidup yang singkat ini penuh dengan teka teki. Dan setiap kita akan berjumpa dengan cerita hidup yang tak terbayangkan sebelumnya.

Dua bulan berlalu, Rana harus kembali ke kampung halamannya. Ia berencana memperkenalkanku kepada orang tuanya. Namun sebelumnya ia akan menyampaikan dulu rencananya itu.

Di sini aku menunggu kabarnya. Dengan penuh harapan.

Waktu berjalan terasa melambat. Bunga di taman enggan menampakkan kemilaunya. Suara burung yang biasanya ramai menyambut pagi, tak kunjung bernyanyi seperti pagi-pagi sebelumnya. Dan kehidupan mulai menampakkan wajah aslinya: munafik!!!

Hari berganti hari, minggu pun berganti, dan kini bulan ikut berganti. Rana tak kunjung menampakkan kabarnya. Entah, nomor HP-nya tak bisa kutelpon. Mungkinkah tak ada signal? Entahlah. Aku masih bertahan dalam prasangka baik.

Aku mulai mulai jenuh menunggu kabarnya. Pilihanku untuk bersabar menunggu kabarnya atau kutinggalkan saja janji itu, sama-sama berat. Aku sudah terlanjur cinta, sementara Rana tak hanya memberinya cinta, namun juga ketulusan.

"Far, aku malam ini ke kosanmu ya. Ada amanat yang harus aku sampaikan"

Widni, sahabat seperjuangan untuk hijrah, mengirimkan sebuah pesan memintanya bertemu. Farah dengan senang hati menyambut kedatangannya. Widni tampak begitu hangat disambut Farah. Keduanya berpelukan.

Tapi ada yang aneh dengan tatapan Widni.

"Far, aku ditipi amanah"

"Maksudnya?"

"Ada surat dari Rana. Ia datang 3 hari yang lalu dan menitipkan surat ini"

Sepotong amplop nampak rapih diterima Farah dari Widni. Meskis udah ditahan, Widni tetap memaks untuk pulang.

"Aku tak mau mengganggumu, far"

Farah tak bisa menahan. Widni pun keluar kost dengan bergegas.

Farah masih termangu dengan amplop putih yang masih ia pegang erat. Dengan berat hati, ia pun membukanya dengan pelan-pelan.

Dear Farah.

Belahan jiwaku yang tak sempat kupeluk, izinkan aku pergi untuk satu alasan yang tak bisa kujelaskan. Semoga kamu berjumpa dengan laki-laki yang lebih baik dariku. Aku akan selalu mendoakanmu, merindumu. 

Salam,

Rana

Farah memeluk erat Widni. Air matanya bercucuran tak beraturan. Nafasnya terengah-engah, perasaannya hancur berantakan.

Widni memeluk balik Farah. Sesekali ia mengusap punggungnya, mencoba mengembalikan kepercayaan dirinya. Sadar, Farah tak seharusnya mendapatkan surat itu, tapi ia pun tak bisa menyalahkan Rana.

"Rana tahu siapa kita sebelumnya, Far"

Hanya itu kalimat yang terdengar di telinga farah.

Laki-laki baik itu baru sebatas bayangan. Celakanya, aku terlalu yakin bahwa dia benar-benar realitas. Tak disangka betapa berat memutuskan jalan pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun