“Entahlah...mungkin saya termotivasi oleh sosok mba. Ingin seperti mba, kuat hafalannya, pintar dan juga aktif”
Duh. Kamu salah alamat Nis. Lagian, ada-ada saja Isma bercerita yang aneh-aneh. Aku ini emangnya siapa? Sama seperti perempuan muda yang lainnya, tak lebih!
Aku ini pencinta, Nis. Tahukah? Di sepanjang Ciputat ini tergores kisah itu, antara aku dan lelaki itu. Berbadan kurus, berambut gondrong, penampilannya berantakan. Tak ada yang istimewa dibanding para lelaki di pondok dulu. Kelebihannya hanya satu: pintar ngobrol. Humoris. Perhatian. Sabar. Ngertiin.
Mana tahan aku dibuatnya, Nis.
Pernah dia menungguku selesai mengajar di TPA. Hampir dua jam! Hanya untuk mengantarku ke tempat berkumpulnya anak-anak jalanan di BSD yang tergusur oleh pembangunan. Atau tentang kesabarannya saat mendengarkan keluh kesahku menghadapi perkuliahan, tak pernah memotong pembicaraanku sebelum selesai.
Jika ada waktu kosong, ia mengajaku jalan-jalan ke Kwitang. Bukan Mall atau tempat wisata. Ini ke tempat buku-buku bekas. Murah, hanya 10 ribu. Ngertiinbanget kalau aku suka karya-karya Kahlil yang melegenda itu. Dibelikannya aku beberapa judul buku dengan cover yang lusuh, bahkan cenderung terkelupas. Tapi tetap aku suka.
Di suatu malam, dia mengajaku menikmati hidangan kajian. Ciputat itu surga bagi setiap pemikiran. Semuanya boleh dan diberi kapling serta dijaga hak-haknya. Kamu bisa menikmati karya ulama atau sarjana manapun, dari yang kiri hingga yang kanan. Dari Rabiaah al-adawitah hingga Annemarie Schimmel, dari Ibnu Taimiyyah hingga Michel Foucault.
Ciputat adalah ibu bagi setiap gerakan. Kamu jangan heran jika banyak kelompok mahasiswa yang berbeda warna baju, tampilan, hingga buku bacaan. Dari yang radikal hingga moderat, atau tak bermadzhab pun, semua boleh hidup dan dijaga hak-haknya. Dan lelaki itu mengajakku mengenal dan menikmati lautan pemikiran yang tak jarang menggoyahkan akidah.
Aku jatuh cinta Nis. Tapi bukan karena kesenangan yang diberikan lelaki kurus itu. Cara dia memperlakukan dan menghormatiku, itulah yang membuatku nyaman untuk membiarkan perasaannya tumbuh dan tumbuh, kuat mencengkeram tiap langkah kakiku. Menjagaku istiqomah tanpa pernah menyentuh atau menghalangiku.
Dialah sang pendengar terbaik. Sabar menanti akhir dari sebuah curhat, lalu berkomentar seperlunya tanpa mengajari atau mendoktrin.
“Sudah sampe asrama mba. Mari kita turun, kamarku kosong, biar malam ini aku bisa belajar banyak”