Mohon tunggu...
Jaja Zarkasyi
Jaja Zarkasyi Mohon Tunggu... Penulis - Saya suka jalan-jalan, menulis dan minum teh

Traveller, penulis dan editor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kisah Itu Tak Lagi di Ciputat

16 Maret 2017   14:45 Diperbarui: 17 Maret 2017   00:00 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak boleh terulang lagi. Tak boleh aku tertinggal bus lagi. Cukup!

Bergegas pagi-pagi Naila menyiapkan diri menuju terminal Leuwipanjang. Tujuannya adalah Jakarta. Langkah kakinya terasa pasti, menaiki tangga bus yang tengah bersiap membawanya ke Jakarta.

“Semoga jalanan tidak macet. Aku harus sampe Ciputat sebelum magrib,” doa terucap dari lubuk hatinya.

Sementara bus tiba tepat waktu. Jalanan Lebak Bulus tampak mengagetkan Naila. Deretan tiang MRT dan kondisi terminal yang tak tersisa menyambutnya dengan hangat. Akhirnya kembali menghirup udara ciputat.

“Ini Ciputat? Oh, lama nian aku tak menginjakkan kaki disini”

“ Betul Mba. Sudah banyak perubahan. Emangnya berapa tahun nggakmampir?”

“Hampir enam tahun”

Suaranya datar. Tak menampakan emosi yang berlebihan. Seperti enggan ditebak tentang apa yang membuatnya galau. Padahal dulu selalu dirindukannya. Bukankah dulu pernah berjanji untuk mengunjunginya saat sukses kelak?

Nisa masih tak nyaman berada di samping Naila yang asyik memandangi deretan bangunan menjulang tinggi di sepanjang jalanan Ciputat yang lengang sore itu. Sesekali ia menggaruk kakinya, seperti hendak membuang kekauan yang terus membunuhnya. Padahal sejak tiga minggu lalu ia mempersiapkan diri untuk menjemputnya di Lebak Bulus. Mengapa sekarang begitu dingin dan cenderung cuek? Entahlah. Nisa mencoba santai, meski selalu gagal.

“Ini apartemen mulai menjamur mba. Tandanya Ciputat tumbuh menuju kota modern,” Nisa menunjukan bangunan tinggi menjulang di samping jalanan Ciputat.

“Ia Nis, tapi tetap bagiku Ciputat itu kota mati,” Naila menjawab dengan suara datar, pandangannya masih terbuang di sepanjang jalanan. Seperti hendak menangkap sesuatu yang tengah berlari.

“Maksudnya? Saya ga paham mba”

“Nanti ada waktunya kamu akan paham. Jangan dipaksakan Nis”

“Baik mba. Oia, swalayan Tip Top sudah pindah loh. Kata mba-mba, dulu Mba Nai suka banget belanja di Tip Top ya”

“Kata siapa? Itu gosip”

“Kata Mba Isma. Dia banyak cerita tentang mba. Makanya saya pengen banget ketemu mba”

“Trus, sekarang udah ketemu kan. Jutek ya, nyebelin”

“he he..nggakjuga ko. Saya seneng bisa ketemu mba”

Sebenarnya ia juga seh. Nyebelin. Jutek. Kalau jawab, singkat-singkat. Datar. Tak ada ekspresi bahagia. Berbeda sekali dengan cerita Mba Isma. Ah, mungkin karena lelah. Sabar sajalah.

Naila masih sibuk dengan perasaannya. Tak ingin ia merusak kebahagiaan Nisa saat menjemputnya. Sejak tiga minggu lalu ia dihubungi Nisa dan memintanya untuk berjumpa. Katanya ingin belajar menghafal, biar seperti dirinya. Dan ia pun menjanjikan untuk menjumapi Nisa di Ciputat. Kini, saat harus bertemu Nisa, hatinya kembali tersayat kisah sepanjang Ciputat.

Seperti dirimu Nis, aku ini merindu Ciputat. Seperti mimpi yang kini kamu bangun, di sinilah tempat yang tepat untukmu menuntut ilmu dan pengalaman. Sama sepertiku, enam tahun kuhabiskan sebagian usiaku di sini. Ciputat. Kota kecil nan sepi, namun menyajikan aneka ragam pengalaman. Kamu bisa menikmatinya nis. Jangan ragu.

Bagiku, Ciputat itu ibarat ibu, Nis. Mendekap dan selalu ada saat jiwa ini merayu cinta dan harapan. Ada banyak lembaran kisah yang membuatku selalu nyaman untuk singgah, meski hanya untuk sarapan.

Di sini kurajut rasa yang sempat tumbuh saat usiaku memasuki remaja. Mereka menyebutnya cinta monyet. Lama kuberpisah dengan monyet itu, sampai akhirnya kujumpai lagi ia di sini. Dan ternyata aku masih mengaguminya, Nis.

Haram bagi seorang penghafal untuk mencintai seorang laki-laki, Nis. Karena itu akan mengganggumu menghafal. Itu doktrin yang aku terima dari guru-guru dan para senior. Saat pertama kali memasuki bangku kuliah, mereka menjagaku untuk tidak mengenal laki-laki. Padahal setiap hari aku berjumpa dengan laki-laki: supir angkot, satpan asrama, imam masjid, para dosen, hingga abang sopir dengan kumis tebal yang tiap hari mengantar para mahasiswi menuju kampus.

Konon, laki-laki itu candu. Sekali mengenal atau lebih dari itu, satu pintu akan menutup kekuatan menghafalmu. Mungkin karea itulah di kampus kami tak ada laki-laki dalam perkuliahan.

Candu, Nis. Karena lelaki itu penuh dengan rayuan gombal. Klepek-klepekpara wanita jika sang raja gombal datang di kehidupanmu. Dan lagi-lagi itu akan merusak konsentrasi hafalanmu.

Aku acuhkan semua itu, Nis.

Memang, banyak yang telah berubah dari ciputat. Tidak seperti 6 tahun lalu. Kini gedung-gedung tinggi berlomba menjadi yang termegah. Jejeran pedagang kaki lima tak lagi nampak disemrawutnya jalanan. Tak lagi dapat kujumpai para pedagang yang dulu biasa aku jajan, sekedar membeli aqua gelas, sambil menunggu jemputan itu datang.

Tapi tunggu. Macet masih ada ko, artinya Ciputat masih bisa kukenali. Hanya itu. sisanya? Baru dan tak berwarna lagi.

“Nah, ini dulunya bengkel-bengkel. Sekarang hanya kantor pos saja yang tersisa. Selainnya sudah dilebur. Tinggal batu nisan saja”

“Ia Nis, kasihan mereka terusir dari usahanya”

“Inilah namanya kota modern mba. Si kecil yang kusut dan kotor itu menggangu kesehatan katanya. Makanya harus digusur”

“Terus kenapa kamu begitu semangat kuliah disini?”

“Entahlah...mungkin saya termotivasi oleh sosok mba. Ingin seperti mba, kuat hafalannya, pintar dan juga aktif”

Duh. Kamu salah alamat Nis. Lagian, ada-ada saja Isma bercerita yang aneh-aneh. Aku ini emangnya siapa? Sama seperti perempuan muda yang lainnya, tak lebih!

Aku ini pencinta, Nis. Tahukah? Di sepanjang Ciputat ini tergores kisah itu, antara aku dan lelaki itu. Berbadan kurus, berambut gondrong, penampilannya berantakan. Tak ada yang istimewa dibanding para lelaki di pondok dulu. Kelebihannya hanya satu: pintar ngobrol. Humoris. Perhatian. Sabar. Ngertiin.

Mana tahan aku dibuatnya, Nis.

Pernah dia menungguku selesai mengajar di TPA. Hampir dua jam! Hanya untuk mengantarku ke tempat berkumpulnya anak-anak jalanan di BSD yang tergusur oleh pembangunan. Atau tentang kesabarannya saat mendengarkan keluh kesahku menghadapi perkuliahan, tak pernah memotong pembicaraanku sebelum selesai.

Jika ada waktu kosong, ia mengajaku jalan-jalan ke Kwitang. Bukan Mall atau tempat wisata. Ini ke tempat buku-buku bekas. Murah, hanya 10 ribu. Ngertiinbanget kalau aku suka karya-karya Kahlil yang melegenda itu. Dibelikannya aku beberapa judul buku dengan cover yang lusuh, bahkan cenderung terkelupas. Tapi tetap aku suka.

Di suatu malam, dia mengajaku menikmati hidangan kajian. Ciputat itu surga bagi setiap pemikiran. Semuanya boleh dan diberi kapling serta dijaga hak-haknya. Kamu bisa menikmati karya ulama atau sarjana manapun, dari yang kiri hingga yang kanan. Dari Rabiaah al-adawitah hingga Annemarie Schimmel, dari Ibnu Taimiyyah hingga Michel Foucault.

Ciputat adalah ibu bagi setiap gerakan. Kamu jangan heran jika banyak kelompok mahasiswa yang berbeda warna baju, tampilan, hingga buku bacaan. Dari yang radikal hingga moderat, atau tak bermadzhab pun, semua boleh hidup dan dijaga hak-haknya. Dan lelaki itu mengajakku mengenal dan menikmati lautan pemikiran yang tak jarang menggoyahkan akidah.

Aku jatuh cinta Nis. Tapi bukan karena kesenangan yang diberikan lelaki kurus itu. Cara dia memperlakukan dan menghormatiku, itulah yang membuatku nyaman untuk membiarkan perasaannya tumbuh dan tumbuh, kuat mencengkeram tiap langkah kakiku. Menjagaku istiqomah tanpa pernah menyentuh atau menghalangiku.

Dialah sang pendengar terbaik. Sabar menanti akhir dari sebuah curhat, lalu berkomentar seperlunya tanpa mengajari atau mendoktrin.

“Sudah sampe asrama mba. Mari kita turun, kamarku kosong, biar malam ini aku bisa belajar banyak”

“astagfirullah. Maaf Nis, mba melamun”

“Tidak! Cukup! Aku harus kembali. Tak boleh kulanjutkan perjalanan ini”

Sejak lama telah kuhapuas Ciputat dari diaryku.Kota mati. Begitu aku menulisnya. Kotamu telah mati. Karena lelaki kurus itu telah pergi, tak lagi menetap di kotamu.

Lelaki kurus itu mungkin sudah tak lagi kurus Nis. Entahlah. Tak pernah kutahu keberadaannya, seperti ditelan bumi. Ia harus terbangun dari mimpinya lebih dini, tanpa sempat merasakan akhir dari kisah itu. Kisah kami, kisah aku dan lelaki kurus.

“Aku berjanji untuk kembali, Zal. Dan sekarang aku datang. Kamu dimana?”

Ciputat, Medio Januari 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun