Mohon tunggu...
Ivi Wartapradja
Ivi Wartapradja Mohon Tunggu... Vox Audita Perit Literra Scripta Manet

Social Unrest

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dari Penjara Bastille hingga Affan: Pelajaran Sejarah yang Terus Berulang

30 Agustus 2025   14:48 Diperbarui: 30 Agustus 2025   14:48 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sejarah memiliki cara yang unik untuk mengingatkan kita tentang pola-pola yang terus berulang. Pada 14 Juli 1789, rakyat Paris menyerbu Penjara Bastille - bukan sekadar untuk membebaskan tahanan, tetapi untuk merobohkan simbol nyata keangkuhan kekuasaan Raja Louis XVI yang telah lama abai terhadap penderitaan rakyatnya. Kini, lebih dari dua abad kemudian, di jalanan Indonesia, kita menyaksikan kemarahan yang sama yang lahir dari sumber yang serupa: kesenjangan yang menganga dan ketidakpedulian penguasa.

Mirip dengan Prancis abad ke-18, kemarahan ini berakar pada ekonomi yang sulit. Kenaikan harga kebutuhan pokok dan beban hidup yang semakin berat menjadi latar yang sama dengan kelaparan yang melanda rakyat Prancis dahulu. Sementara rakyat bersiap mengencangkan ikat pinggang, mereka justru menyaksikan para wakilnya menyetujui kenaikan tunjangan yang fantastis - sebuah ironi yang mengingatkan pada kemewahan kehidupan Istana Versailles di tengah penderitaan rakyat Prancis.

Puncak kemarahan ini menemukan bentuknya dalam tragedi Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online asal Menteng,Jakarta yang tewas dilindas kendaraan taktis aparat. Affan menjadi simbol modern dari penderitaan rakyat kecil, sebagaimana Bastille menjadi simbol penindasan pada masanya. Kematiannya bukan lagi sekadar kecelakaan lalu lintas, melainkan representasi dari ketidakadilan yang sistemik.

Seperti halnya Revolusi Prancis yang dipicu oleh sikap elite yang tidak empati, kemarahan di Indonesia juga diperparah oleh pernyataan dan sikap sejumlah anggota dewan seperti Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio dan anggota dewan sejenisnya yang dianggap merendahkan dan tidak empati. Pernyataan yang menyamakan demonstrasi dengan "dendam kesumat" atau aksi joget-joget di tengah suasana berkabung rakyat mengingatkan pada sikap Ratu Marie Antoinette -dengan mandi susunya-yang legendaris dengan "Biarlah mereka makan kue"-nya.

Dalam konteks inilah peran presiden menjadi sangat krusial. Sejarah menunjukkan bahwa penguasa yang gagal membaca tanda-tanda zaman akan menuai akibatnya. Raja Louis XVI kehilangan takhta dan kepalanya karena ketidakmampuannya melakukan reformasi yang berarti sebelum segalanya terlambat.

Presiden Prabowo sekarang berada pada titik yang menentukan. Rakyat tidak membutuhkan pengalihan isu dengan tuduhan "campur tangan asing" seperti yang kerap terjadi. Mereka membutuhkan pengakuan atas penderitaan mereka dan tindakan nyata yang membuktikan bahwa pemerintah berada di sisi rakyat.

Langkah-langkah konkret yang dibutuhkan mencakup moratorium kebijakan yang tidak populis, pengkajian ulang kenaikan gaji anggota dewan, merampingkan kabinet gemoy dan prioritas anggaran yang benar-benar pro-rakyat kecil. Proses hukum yang transparan dan adil untuk kasus Affan juga menjadi prasyarat untuk memulihkan kepercayaan publik.

Pelajaran dari Bastille mengajarkan bahwa tidak ada tembok yang cukup kokoh untuk menahan amarah warga yang telah mencapai titik nadir. Kekuasaan yang legitimate datang dari kemampuan untuk mendengarkan dan merespons aspirasi rakyat, bukan dari kemampuan untuk mempertahankan privilege.

Indonesia bukanlah Prancis abad ke-18, tetapi hukum sejarah tentang hubungan antara penguasa dan yang dikuasai tetap berlaku. Kemarahan di jalanan adalah alarm yang harus didengarkan. Sebelum segalanya terlambat, sebelum tembok ketidakpercayaan menjadi terlalu tinggi untuk didaki, pemerintah harus mengambil tindakan korektif.

Namun, kemarahan yang meledak ini sesungguhnya adalah puncak gunung es dari akumulasi kebijakan selama satu dekade kepemimpinan Jokowi. Selama sepuluh tahun, pemerintahannya justru mewariskan ketidakadilan struktural dan kesenjangan yang kian melebar. Kebijakan-kebijakan yang diusung seringkali berpihak pada kepentingan oligarki ketimbang rakyat kecil. Sikap sederhana dan blusukan yang selama ini dipoles sebagai kedekatan dengan rakyat, kini terbukti hanyalah gimmick belaka. Di balik wajah bersahaja itu, tersembunyi kebenaran pahit bahwa rezim ini ibarat 'Dracula' yang menghisap darah rakyat melalui kebijakan yang memiskinkan, liberalisasi sumber daya alam, dan pengabaian terhadap keadilan sosial. Warisan sepuluh tahun ini bukanlah kemakmuran yang merata, melainkan luka kolektif yang sekarang mulai berdarah.

Pada akhirnya, baik di Prancis abad ke-18 maupun Indonesia abad ke-21, prinsipnya tetap sama: pemerintahan yang langgeng adalah pemerintahan yang mampu menjaga kepercayaan rakyatnya. Kepemimpinan yang bijak akan memahami bahwa mendengarkan jeritan keadilan di jalanan bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan sejati dari sebuah demokrasi(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun