# Kritik Terhadap Ketetapan MPRS Tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno Tahun 1966
Pada tahun 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan ketetapan no. XXVI tentang pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Ketetapan ini memiliki latar belakang historis dan politis yang kompleks, mengingat situasi politik Indonesia pada masa itu yang berada di bawah tekanan besar setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) dan peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Artikel ini berupaya memberikan kritik terhadap ketetapan tersebut dengan melihat dari beberapa aspek penting: konstitusionalitas, tujuan politik, dan implikasi sosial-budaya.
## Konstitusionalitas Ketetapan MPRS
Ketetapan MPRS ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai konstitusionalitasnya. Dalam sistem hukum Indonesia, MPRS memiliki fungsi legislatif dan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dasar. Namun, pembentukan panitia untuk meneliti ajaran seorang individu, meskipun ia seorang presiden sekaligus Pemimpin Besar Revolusi, tampak tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dasar konstitusi. Konstitusi Republik Indonesia mengatur mengenai hak asasi manusia dan kebebasan berpikir, termasuk kebebasan mengembangkan ajaran dan pemikiran. Ketetapan ini, secara tidak langsung, dapat diinterpretasikan sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berpikir dan berpendapat.
Selain itu, pembentukan panitia ini juga dapat dilihat sebagai upaya untuk mendiskreditkan Sukarno dan ajaran-ajarannya, yang banyak di antaranya berfokus pada nasionalisme, marhaenisme, dan sosialisme Indonesia. Dengan kata lain, langkah ini bisa dianggap sebagai upaya politik yang bertentangan dengan semangat demokrasi dan hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi.
## Tujuan Politik di Balik Ketetapan
Ketetapan MPRS tentang pembentukan panitia peneliti ajaran-ajaran Bung Karno jelas memiliki muatan politik yang kuat. Pada saat itu, terjadi peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, yang berusaha mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin baru Indonesia. Dalam konteks ini, pembentukan panitia tersebut dapat dilihat sebagai bagian dari upaya untuk melemahkan pengaruh Soekarno dan menghapus warisan politiknya yang tidak sejalan dengan visi dan misi rezim Orde Baru.
Panitia ini diinstruksikan untuk meneliti ajaran-ajaran Soekarno, yang dapat dilihat sebagai upaya untuk menemukan kelemahan atau aspek-aspek negatif dari ajaran tersebut. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendiskreditkan Soekarno di mata publik dan mengurangi dukungan terhadapnya. Langkah ini juga sejalan dengan upaya sistematis Orde Baru untuk menghapus pengaruh politik Soekarno dari kehidupan politik Indonesia, termasuk dengan membatasi peran Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan partai politik pendukung utama Soekarno.
## Implikasi Sosial-Budaya
Implikasi sosial-budaya dari ketetapan ini juga cukup signifikan. Soekarno tidak hanya seorang pemimpin politik, tetapi juga seorang simbol nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan. Ajaran-ajarannya tentang Trisakti (berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan) serta Pancasila sebagai ideologi negara telah menjadi bagian integral dari identitas nasional Indonesia.